Godaan untuk Menyalahgunakan Kekuasaan.
Bagi seorang pragmatis yang berhikmat duniawi, ajaran Yesus mengenai kekuasaan
merupakan ajaran yang aneh dan mengejutkan. Secara natural kita berusaha
melindungi diri sendiri dengan berusaha memperoleh kekuasaan sebesar mungkin
atas orang lain dan lingkungan hidup kita. Kekuasaan sepertinya menawarkan
keamanan. Dan dalam jangka pendek, strategi semacam itu kelihatannya memang
benar.
Namun, prasangka dan kekuasaan dapat
saling terkait. Misalnya, munculnya prasangka yang menolak untuk mempercayai
sabda Tuhan tentang warga kulit hitam dan kulit putih, laki-laki dan perempuan,
kaya dan miskin, mengaburkan masalah kendali dan superioritas. Ketika kita
"memberi cap tertentu" pada orang lain, kitalah yang memegang kendali
atasnya, sekalipun hanya dalam benak kita. Kaum minoritas, seperti individu
lainnya, kerap kali sudah terbiasa menyandang cap atau peran tertentu. Saat
diberi peran oleh kelompok mayoritas yang dominan, kaum minoritas akan terus
menjalankan peran itu, sekalipun peran itu membahayakan dirinya. Cap yang buruk
itu pun dapat menjelma menjadi kenyataan.
Sudah barang tentu, kekuasaan yang
diperoleh melalui prasangka didasarkan pada kebohongan dan hal yang setengah
— benar. Namun, sifatnya yang tidak sah itu tidak mempengaruhi
kegunaannya. Haruskah kita terkejut jika prasangka terbukti efektif? Prasangka
menggunakan taktik yang serupa dengan taktik iblis dan para pengikutnya. Setan
sebenarnya tidak berhak atas kekuasaan. Iblis adalah sang perampas, yang
merebut kendali atas sistem yang ada di dunia dengan cara menipu dan mengeks-ploitasi
dosa serta ketakutan. Namun, kenyataan bahwa dosa dan ketakutan dapat
berkembang menjadi kekuatan yang demikian besar itu, jelas menunjukkan betapa
merasuknya prasangka (Efesus 6:12).
Setan memahami kekuasaan. Ia merupakan
pialang, manipulator, dan pedagang kekuasaan yang terulung. Yesus sendiri
menyebut Iblis sebagai "penguasa dunia ini" (Yohanes 12:31; 16:11).
Salah satu ujian yang dihadapi Yesus ketika pertama kali memimpin jemaat-Nya
adalah ketika Dia dicobai iblis di padang gurun.
["Setan mencoba menyuruh Sang
Putra melindungi diri-Nya sendiri dengan kekuasaan yang tidak diberikan Bapa
kepada-Nya."]
Anak Allah menolak menggunakan
kekuasaan-Nya dan memilih merendahkan diri sebagai hamba yang paling hina.
Setan, yang merupakan perampok paling sombong, dengan lancangnya mencoba membu-juk
Kristus untuk meninggalkan kerendahan-Nya sebagai hamba dan menggunakan
kekuasaanNya untuk mengubah batu menjadi roti, memaksa para malaikat datang
melayani-Nya, dan menjadi penguasa kerajaan-kerajaan di dunia asal Dia bersedia
menyembah Setan dan meninggalkan jalan salib. Taktik setan sangat canggih. Ia
mencoba menyuruh Anak Allah untuk hidup dengan mengandalkan kekuatan-Nya
sendiri dan bukannya tetap bergantung kepada Bapa yang akan memenuhi segala
kebutuhan-Nya (Matius 4:1-11).
Kebenaran Kristus tidak sama dengan
kebohongan musuh kita. Ajaran-Nya membuat kita senantiasa mengucap syukur atas
karya Allah yang telah dikerjakan-Nya bagi kita. Kebenaran yang dapat kita
petik dari ajaran ini adalah bahwa kita dianggap bijaksana bukan ketika kita
mencoba melindungi diri sendiri dengan mengendalikan orang lain dan lingkungan
hidup kita, melainkan ketika kita dengan rendah hati dan patuh bergantung
kepada Tuhan yang akan melindungi dan memelihara kita.
Untuk dapat mengembangkankan sikap
semacam itu, kita perlu belajar memandang satu sama lain dari perspektif saling
mengasihi dan bukannya dari perspektif kekuasaan, otoritas, atau hak.
Inilah yang kita saksikan dalam surat
Paulus kepada saudara seimannya, Filemon, serang pemilik budak. Kendati dirinya
masih dipenjara, Paulus sempat bertemu dengan budak Filemon itu, yakni Onesimus
di tengah pelariannya, dan membimbingnya untuk beriman kepada Kristus. Setelah
secara pribadi meng-amati iman Onesimus dan bergaul dengannya, Paulus dalam
suratnya kepada Filemon memintanya untuk menerima kembali Onesimus sebagai
saudara dalam Kristus. Dahulu, Filemon memang berkuasa atas Onesimus. Filemon
sebenarnya berhak membunuh Onesimus karena telah melarikan diri, dan ia pun
layak bersikeras menggunakan haknya itu. Namun, Paulus mengimbau Filemon agar
melepas haknya itu dan dengan rendah hati menerima Onesimus sebagai sesama
saudara dalam Kristus. Itulah jalan kedamaian.
Kedamaian terwujud ketika kita
mengesampingkan "kekuasaan sosial" dan bersama Kristus mengikat-kan
diri dengan seluruh anggota tubuh-Nya. Dengan begitu kita mulai mampu memandang
satu sama lain melalui indahnya hal-hal yang Tuhan lakukan di dalam diri kita.
Glen Kehrein dari Gereja Circle Urban
Ministries menuliskan pengalaman pribadinya saat melangkah ke kaki salib. Glen,
yang dibesarkan di sebuah kota kecil di Wisconsin, mengaku rindu bersekutu
dengan mereka yang kerap menjadi korban kekuasaan dan prasangka. Sebelum saya
pindah ke Chicago dari Ripon, Wisconsin, saya tidak pernah berpikir bahwa saya
memerlukan orang-orang yang terpinggirkan. Apa urusannya mereka dengan saya?
Saya bahagia; baik-baik saja. Ayat yang tertera pada 1Kor 12 memang suatu pemikiran
rohani yang baik, tetapi saya tidak sungguh-sungguh merasa memerlukan
saudara-saudara saya warga kulit hitam. Mata saya belum terbuka terhadap
realitas kerohanian bahwa "anggota-anggota tubuh yang tampaknya paling
lemah, yang paling dibutuhkan" (ayat 22).
Namun, itu
benar. Banyak di antara saudara seiman saya yang berkulit hitam justru memiliki
hikmat dan karakter kerohanian yang dalam, karena mereka merasakan penindasan,
kemiskinan, dan kekurangan. Tanpa mereka, saya miskin secara rohani,
seolah-olah saya kehilangan sebuah tangan, atau mata, atau kaki (Breaking
Down Walls, hal. 172).
Inilah kekayaan Keluarga Allah yang
cenderung sering kita hilangkan, karena kita sibuk mengejar hal-hal dan
kekuasaan duniawi yang menyesatkan.
Godaan untuk Mencari Kambing Hitam.
Mereka yang belum memahami dan menerima kelemahan mereka di hadapan Allah
cenderung menciptakan prasangka yang menimbulkan konflik dengan orang lain.
Mereka cenderung mencari kambing hitam untuk dipakai sebagai penangkal petir
atas kemarahan dan frustrasi pribadi mereka. Dalam hal ini, praktik mencari
kambing hitam bekerja mirip obat. Kambing hitam dapat dipakai sebagai alat
untuk melampiaskan kekesalan emosional. Gordon Allport menuliskan:
Tampaknya beberapa bentuk sikap asertif
agresif memang betul-betul merupakan insting manusia untuk mengatasi frustrasi
yang dialaminya. Saat mengamuk "bayi akan menendang dan menjerit. Ketika
marah manusia sudah pasti tidak menunjukkan tanda-tanda kasih atau kesatuan;
reaksinya bersifat acak dan liar. Bayi tidak menyerang sumber frustrasi yang
sesungguhnya, tetapi menyerang objek apa pun yang melintas di hadapannya (The
Nature of Prejudice, hal. 343).
Sepanjang hidup ini, kecenderungan
semacam itu akan terus ada. Kemarahan yang muncul lebih kerap disebabkan oleh
adanya sasaran kemarahan dan bukan karena adanya objek kemarahan yang logis.
Terkadang, bentuk kambing hitam tertentu sangat lazim dalam suatu budaya.
Misalnya; kaum Yahudi harus mengalami nasib yang tragis karena secara
tradisional mereka adalah kambing hitam bagi masyarakat Barat. Mereka selalu
dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas segala musibah yang terjadi,
mulai dari wabah sampar bubo hingga Depresi Besar.
Ini mungkin disebabkan adanya
kecenderungan jahat dalam diri manusia, yang secara tegas sudah diperingatkan
Yesus:
Kamu telah mendengar yang difirmankan
kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum.
Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum;
siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! Harus dihadapkan ke Mahkamah Agama
dan siapa yang berkata: Jahil! Harus diserahkan ke dalam neraka yang
menyala-nyala (Matius 5:21,22).
Yesus meminta kita agar menyingkirkan
"balok" di mata kita, sebelum menghakimi orang lain karena terdapat
"selumbar" di matanya (Matius 7:3). Bagaimana kita dapat "lambat
untuk marah" jika kita bahkan tidak sepenuhnya menyadari kemarahan kita
sendiri? Hanya dengan membiasakan diri mengembangkan kesadaran akan perlunya
mengendalikan kemarahan pribadi kita, dan hanya dengan cara memeriksa dan mengakui
dosa kita, barulah kita dapat memahami betapa sia-sia dan betapa merusaknya
kebiasaan melampiaskan amarah kepada orang lain.
Contoh menarik dari Alkitab mengenai
kemarahan ditunjukkan melalui reaksi Daud atas perkataan Nabi Natan (2Samuel
12). Natan memberi tahu Daud mengenai seorang kaya, yang meski memiliki banyak
domba, tetapi tega mengambil domba peliharaan tetangganya yang miskin dan
menyembelih-nya untuk dijadikan santapan malam. Begitu mendengar laporan itu,
Daud marah dan meminta orang kaya yang sombong dan tidak berperasaan itu
dihukum mati.
["Sebagian dari orang yang
paling pemarah di dunia merupakan orang yang paling banyak menyembunyikan
sesuatu."]
Padahal Daud sendiri baru saja melakukan
perbuatan yang jauh lebih keji daripada orang kaya dalam kisah Natan itu. Daud
telah membunuh seorang prajuritnya yang setia agar dapat berzina dengan istri
prajurit itu dan menjadikan perempuan itu selir barunya. Daud sama sekali tidak
menangkap maksud perumpamaan yang disampaikan Natan kepadanya. Dengan
mengandalkan hikmatnya sendiri, Daud meminta orang kaya itu dihukum mati.
Sampai kemudian Natan berkata, "Engkaulah orang itu!"
Barangkali bentuk prasangka yang paling
tidak jujur dan merusak adalah penindasan serta penonjolan diri. Siapa pun yang
mengenal doktrin dasar kekristenan akan tahu bahwa kita semua adalah orang
berdosa. Tak seorang pun di antara kita yang dapat mengaku dirinya suci (Roma
3:9-26; 1Yohanes 1:8). Meskipun demikian, kita semua merasakan betapa sulitnya
mengakui dosa dan kelemahan kita. Keengganan mengakui perbuatan dosa kita,
membuat kita sering menimpakan kesalahan kepada orang lain. Gordon Allport
mengatakan:
Andai saja ada sifat yang tidak
dikehendaki dalam diri seseorang — misalnya ketamakan, nafsu,
kemalasan, kesembronoan. Yang diperlukan oleh orang itu adalah karikatur atas
semua sebutan itu … Ia memerlukan sesuatu yang sedemikian
ekstremnya, sehingga ia bahkan tidak perlu lagi mendakwa dirinya sendiri
bersalah (The Nature of Prejudice, hal. 388).
Mengakui dosa pribadi bukanlah hal
yang mudah. Selain itu, juga tidak menyenangkan. Namun, jika kita tidak
mengizinkan Allah memimpin kita di jalan damai, kita akan menahan dosa kita
sendiri sehingga membebani orang lain dengan sikap penonjolan diri, prasangka,
dan amarah.
Godaan untuk Terus Hidup Nyaman.
Belum lama ini muncul bidang studi baru di sejumlah seminari dan perguruan
tinggi kristiani. Mata kuliah itu dinamakan "Kajian Pertumbuhan
Gereja". Disiplin ilmu itu memusatkan perhatian pada upaya menganalisis
faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan gereja. Salah satu hasil pengamatan
para pakar adalah: manusia secara alamiah merasa lebih nyaman berada di tengah
orang-orang yang sama seperti dirinya. Masyarakat dari ras, suku, dan kelompok
sosial ekonomi yang sama cenderung mendekatkan diri satu sama lain. Sekalipun
mereka mungkin tidak secara sadar ingin memisahkan diri dari masyarakat dari
kelompok ras, budaya, atau ekonomi yang berbeda, tetapi kenyataannya mereka
"secara alamiah membentuk gereja-gereja yang homogen".
Karena ini merupakan hal yang
"alamiah" dan bukan kesengajaan, lalu apakah hubungannya dengan
prasangka? Raleigh Washington dan Glen Kehrein melontarkan sejumlah pendapat
mendalam mengenai pertanyaan penting ini:
Apakah kita
saling membutuhkan? Para pendukung prinsip "gereja yang homogen" dan
"niche marketing"(pemasaran produk yang
dikhususkan untuk segmen masyarakat tertentu) atau Afro-sentrisme, serta hak menentukan
nasib sendiri, pasti tidak akan sependapat. Jika nanti toh akan terjadi juga
bentrok antarras, buat apa kita bersusah payah berusaha mencapai rekonsiliasi
antarras? Mengapa kita harus melawan natur manusia? … Namun,
pertanyaan yang sesungguhnya adalah apakah kita juga memakai kecenderungan
manusia untuk berkumpul dengan kelompoknya sendiri itu dalam kesatuan tubuh
Kristus? Apakah kita mampu menerima pemikiran "berbeda tetapi sama"
dalam pergaulan dan hubungan kristiani? Yang jelas, kita tidak dapat bergaul
akrab satu sama lain jika tubuh Kristus yang seharusnya menjadi garam dan
terang dunia tercerai-berai oleh konflik antarras (Breaking Down Walls,
hal. 170).
Tidak dapat diingkari bahwa kita
senantiasa mengalami kesulitan ketika mencoba merobohkan tembok yang
menghalangi hubungan antarkelompok dalam masyarakat. Kita cenderung
menghabiskan waktu bersama orang-orang yang setidaknya kita duga tidak akan
keliru menafsirkan kita dan tidak membuat kita merasa tidak nyaman atau
canggung. Untuk melanggengkan suatu pernikahan pun, perlu usaha keras.
Diperlukan komitmen yang kuat untuk mencapai kesatuan rohani dan emosional
dengan mereka yang secara kultural tidak menyukai kita.
["Zona nyaman merupakan tempat
dosa dapat berdiam dengan tenang."]
Nyatanya, di kerajaan dunia ini, orang
yang menyisihkan orang lain terlihat lebih beruntung. Gordon Allport
mengartikan prasangka sebagai "prinsip untuk bertindak seminimal
mungkin" dan menurutnya, hal yang mendorong seseorang untuk melakukan hal
itu adalah:
Jika saya
menolak semua orang asing dan memasukkan mereka dalam suatu kelompok, saya tak
perlu repot-repot lagi berurusan dengan mereka … . Jika saya dapat
menilang, agar semua orang kulit hitam dianggap sebagai ras yang rendah dan
patut ditolak, maka saya dengan mudah bisa mengenyahkan sepersepuluh sesama
warga negara Amerika Serikat. Jika saya dapat memasukkan umat beragama lain ke
dalam kelompok lain dan menolak mereka, hidup saya akan semakin mudah. Saya
lalu memangkas lagi dan membuang kaum Yahudi, begitulah yang terjadi (The
Nature of Prejudice, hal. 365-366).
Sudah barang tentu, kelompok-kelompok
kebudayaan yang berbeda akan merasa lebih nyaman dan tidak perlu menguras
banyak tenaga jika mereka tetap terpisah, tetapi apakah kenyamanan seperti itu
sehat?
Seorang pria yang ingin mengelak dari
kewajiban melaksanakan perintah untuk mengasihi sesamanya bertanya kepada
Yesus, "Siapakah sesamaku?" Yesus menjawabnya dengan menyampaikan
perumpamaan mengenai orang Samaria yang baik hati, yakni kisah tentang kasih
yang ditunjukkan oleh seorang dari kelompok minoritas yang di pandang rendah (Lukas
10:29-37). Raleigh Washington menuliskan sebagai berikut:
Dalam perjalanannya menuju salib,
Yesus menghancurkan banyak hal yang menghalangi terjalinnya hubungan baik
antarkelompok masyarakat lewat kabar baik penebusan yang Dia bawa (sekalipun
Dia harus menanggung banyak penderitaan karenanya). Dia mengejutkan orang yang sehat
dengan menyentuh penderita lepra yang "najis". Dia membuat berang
para murid yang haus kekuasaan dengan mengatakan bahwa mereka harus menjadi
seperti anak kecil. Dia mempermalukan orang yang merasa paling benar dengan
menolak mengutuk perempuan yang berzina. Dia memukul "orang benar"
lewat pergaulannya dengan para pendosa. Dia membuat malu orang kaya dengan
memuji sedikit persemba-han yang diberikan seorang wanita miskin dalam kekurangannya.
Dia mengusik kaum Yahudi tulen dengan mengundang peranakan orang Samaria
menjadi anak Allah. Rintangan itu tidak runtuh secara kebetulan. Yesus sengaja
memakai cara-Nya sendiri supaya maksud-Nya tercapai: "Jika kamu ingin mengikuti
Aku, rintangan itu harus diruntuhkan. Kenyataannya, rintangan itu menghalangi
orang untuk melihat siapa Aku sesungguhnya" (Breaking Down Walls, hal. 127-128).
Meskipun mungkin kita lebih
"enak" bergaul dengan orang yang sama seperti kita, tetapi apakah ini
bermanfaat? Apakah pantas jika kita hanya duduk dengan anggota keluarga dekat
kita dalam sebuah acara reuni? Haruskah seorang siswa hanya mempelajari mata
pelajaran yang telah dikuasainya? Washington dan Kehrein menunjukkan bahwa
mengenal orang dari latar belakang yang berlainan jauh lebih bermanfaat.
Riset sosiologi menunjukkan bahwa
kepercayaan jauh lebih penting daripada ras atau jenis kelamin dalam menentukan
siapa yang kita pilih sebagai teman. Bagaimana mungkin kita dapat menyangkal
kesimpulan bahwa "kenyamanan" yang terasa di gereja-gereja yang
bersifat homogen erat kaitannya dengan sikap mementingkan diri sendiri dan
kemalasan rohani? Jika kebiasaan menghindari hal-hal yang merepotkan dijadikan
prinsip untuk mengarahkan pertumbuhan gereja, maka kita telah benar-benar
memadamkan Roh (1Tesalonika 5:19), membatasi pertumbuhan rohani, menyulut murka
Allah (Matius 25:14-28), serta membuat gereja menjadi malas dan selalu diliputi
ketakutan (Amsal 22:13).
Ketika kita berani mengambil risiko demi
Kerajaan Allah, tantangan akan memungkinkan kita bertumbuh secara emosional dan
rohani, dengan cara yang mustahil kita alami jika kita terus hidup gampang dan
jauh dari konflik. "Prinsip berjuang seminim mungkin" bukanlah
bintang penunjuk jalan kita.
Dan bukan hanya itu saja. Kita malah
bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu
menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji
menimbulkan pengharapan (Roma 5:3,4).
Damai Dalam
Menghadapi Masa Depan
[Setiap orang yang menaruh
pengharapan itu kepada-Nya, menyucikan diri … " —
1Yohanes 3:3]
Tidaklah mudah bagi para pengikut
Kristus mula-mula untuk mengabaikan harapan yang bersumber dari rasa damai yang
bersifat politis. Mengingat kaum Yahudi dididik berdasarkan ajaran Perjanjian
Lama berbahasa Ibrani, mereka memiliki alasan untuk meyakini bahwa Mesias pasti
akan mengalahkan dunia. Para nabi menggambarkanNya sebagai pemerintah seluruh
bumi mulai dari kota Yerusalem.
Yesaya dalam
tulisannya menubuatkan: Akan terjadi pada hari-hari yang terakhir: gunung
tempat rumah TUHAN akan berdiri tegak di hulu gunung-gunung dan menjulang
tinggi di atas bukit-bukit; segala bangsa akan berduyun-duyun ke sana, dan
banyak suku bangsa akan pergi dan berkata, "Mari, kita naik ke gunung
TUHAN, ke rumah Allah Yakub, supaya Ia mengajar kita tentang jalan-jalan-Nya,
dan supaya kita berjalan menempuhnya; sebab dari Sion akan keluar pengajaran dan
firman TUHAN dari Yerusalem." Ia akan menjadi hakim antara bangsa-bangsa
dan akan menjadi wasit bagi banyak suku bangsa; maka mereka akan menempa
pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau
pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka
tidak akan lagi belajar perang (Yesaya 2:2-4).
Keadaan semacam itu tidak akan
terwujud dengan mudah. Yesaya melanjutkannya dengan menggam-barkan hari
penghakiman yang mengerikan (Yesaya 2:1-4:6) yang akan mendahului damai yang
akan menyusul kemudian (Yesaya 4:3-6; lihat juga Yeremia 30:1-7 dan Daniel
12:1). Namun, setelah periode pembersihan ini, Kerajaan Allah akan terwujud.
Mesias akhirnya akan memerintah selama-lamanya di seluruh dunia. Di bawah
pemerintahan Sang Raja Damai (Yesaya 9:5), kaum non-Yahudi akan sama-sama
menyembah dan memperoleh damai dari Allah (Yes 56:7; 66:23; Za 14:16; Mal
1:11).
Mengingat hari kedatangan Kristus
untuk memerintah di bumi merupakan saat yang bersejarah, maka tidak
mengherankan jika setelah kebangkitan Yesus, para murid-Nya masih
bertanya-tanya apakah mereka akan dapat melihat tibanya hari itu. Maka
bertanyalah mereka yang berkumpul di situ, "Tuhan, maukah Engkau pada masa
ini memulihkan kerajaan bagi Israel?" JawabNya, "Engkau tidak perlu
mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya.
Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu
akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria, dan sampai
ke ujung bumi." Sesudah Ia mengatakan demikian, terangkatlah Ia disaksikan
oleh mereka, dan awan menutup-Nya dari pandangan mereka. Ketika mereka sedang
menatap ke langit waktu Ia naik itu, tiba-tiba berdirilah dua orang yang
berpakaian putih dekat mereka, dan berkata kepada mereka, "Hai orang-orang
Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat
ke surga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti
kamu melihat Dia naik ke surga" (Kis 1:6-11).
Perkataan para malaikat ini
menegaskan kepada kita bahwa Allah tidak pernah melupakan janji-Nya. Sejarah
berada dalam kendali-Nya. Pada akhirnya kejahatan tidak akan mampu mengalahkan
kebaikan.
Meskipun kita tidak mengetahui kapan
semua ini akan berakhir, Allah memiliki kalender dan rencana. Dia mengawasi
semuanya. Dengan jaminan itu, Dia meminta kita mempercayai-Nya, tidak saja di
masa mendatang, tetapi juga hari ini.
Diringkas
dari Buku Mengapa Tiada Damai di Dunia Ini?, Penyunting: C. Krismariana W,
Yoygyakarta: Yayasan Gloria, 2009, halaman 8-9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar