["Tiada seorang pun berkuasa
menahan angin dan tiada seorang pun berkuasa atas hari kematian"
— Salomo (Pkh 8:8)]
Orang yang takut mati biasanya juga
takut hidup. Mereka cenderung merasa takut juga terhadap orang lain. Berada di
tengah-tengah teman sekerja seolah-olah membuka peluang bagi terjangkitnya
kuman yang membahayakan kehidupan. Hidup bersama orang miskin memperbesar
kemungkinan untuk dirampok dan dibunuh oleh orang yang termotivasi hanya untuk
mendapat makanan atau obat-obatan. Tidak perlu berbaik-baik memberikan bantuan,
karena kita dapat masuk ke perangkap seseorang yang pada akhirnya akan balik
menyerang, merampok, menggugat, atau membunuh kita. Bahkan berkendaraan di
jalan-jalan lingkungan kita pun berisiko mengingat banyaknya orang yang
mengemudikan kendaraan secara serampangan, dalam keadaan mabuk, dan
ugal-ugalan.
Yesus sadar bahwa orang yang diliputi ketakutan
tidak akan mampu melakukan banyak perbuatan baik. Dia tahu betapa sulitnya
mereka menjadi sahabat dan murid-Nya karena mereka sendiri takut mengha-dapi
risiko kemarahan para musuh-Nya (Matius 10:25-27). Oleh karena itu, Yesus
berkata:
Dan janganlah kamu takut kepada
mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa;
takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh
di dalam neraka (Matius 10:28).
Dengan
berkata demikian, Yesus sama sekali tidak berniat mendorong para pengikutNya
untuk mengambil risiko yang bodoh atau hidup tanpa mempedulikan keselamatan
pribadi mereka sendiri. Dia hanya mendorong mereka untuk berdiri teguh
bersama-Nya dan beriman kepada-Nya dengan segala akibatnya. Sang Guru menghendaki
agar para pengikut-Nya menunjukkan sikap berani, terpuji, dan penuh kasih di
hadapan para lawan mereka. Dan satu-satunya cara untuk dapat mengasihi orang
yang membenci mereka adalah dengan belajar untuk lebih takut kepada Tuhan
daripada kepada orang lain.
["Kerinduan manusia duniawi
untuk dapat hidup selamanya dilatarbelakangi oleh ketakutan menanggung dampak
kematian."]
Orang-orang selalu tersiksa oleh
ketakutan akan kematian. Kendati Freud dan tokoh ateis lainnya telah
memopulerkan gagasan bahwa keyakinan akan adanya kehidupan abadi hanya
merupakan khayalan, tetapi kebanyakan masyarakat kuno merasa takut dan ngeri
menghadapi kemungkinan adanya kehidupan sesudah mati. Mereka tidak hanya takut
menghadapi dunia yang akan mereka masuki sesudah mati, tetapi mereka juga harus
berjuang mengatasi kutuk rasa bersalah dan ketakutan yang tidak jelas.
Ketakutan semacam itu kerap tercermin
dalam naskah kuno. Dalam buku The Republic (380 SM) karangan Plato, terdapat
dialog seorang lelaki tua bernama Cephalus yang mengutarakan perasaannya
mengenai peristiwa yang pasti akan dihadapi oleh semua orang:
Asal engkau tahu, Sokrates, ketika seseorang
dihadapkan dengan pemikiran mengenai kematian, maka dalam benaknya akan muncul kecemasan
yang sebelumnya tidak mengganggu dirinya. Kisah mengenai dunia lain dan tentang
hukuman yang harus ditanggungnya di kehidupan mendatang akibat kesalahan yang
diperbuat semasa hidupnya, yang biasanya menjadi bahan tertawaan baginya, mulai
menjangkiti pikirannya. Ia pun akan merasa takut kalau-kalau hal itu benar. Entah
karena kondisi fisik yang melemah di usia tua, atau karena merasa bahwa ajalnya
hampir tiba, orang itu akan memiliki persepsi yang lebih jelas mengenai
kematian. Pikirannya akan dipenuhi oleh keraguan dan ketakutan sehingga ia
mulai membuat perhitungan dan memeriksa apakah ia telah berbuat khilaf terhadap
orang lain. Orang yang menyadari dirinya terlalu banyak berbuat salah dalam hidupnya,
kerap terbangun di malam hari dengan perasaan takut seperti kanak-kanak yang
mengalami mimpi buruk, dan kehidupannya akan penuh dengan firasat. Akan tetapi,
orang yang menyadari bahwa dirinya tidak bersalah akan menantikan kematian
dengan gembira dan penuh harapan, atau menurut istilah Pindar,"menjalani
hari tua dengan tenang".
Namun, sekalipun manusia takut
menghadapi kematian dan penghakiman, mereka masih terus ingin hidup selamanya,
sebuah keinginan yang sebenarnya wajar demi kelangsungan hidup manusia. Jika
kematian merupakan akhir segalanya, jika tidak ada pengharapan akan adanya
kehidupan setelah kematian yang memberi arti bagi mereka yang telah melakukan
hal-hal yang benar atau bagi mereka yang terjerat kuasa iblis dalam hidupnya,
maka yang terjadi adalah seperti yang dituliskan filsuf Spanyol Una-muno:
"Jika memang benar riwayat saya
akan tamat," kata kita kepada diri sendiri, "begitu saya binasa, maka
menurut keyakinan saya, dunia juga berakhir. Oleh karena itu, mengapa tidak
secepatnya saja dunia diakhiri … ? Jika hidup, yang dijalani sekadar
untuk hidup atau semata-mata demi orang lain yang juga akan mati, tidak
memuaskan jiwa, apa bagusnya hidup ini. Obat terbaik bagi kita adalah
mati" (Tragic Sense of Life, hal. 44).
Kesadaran akan nasib tragis yang tidak
berarti ini kerap menyiksa mereka yang tidak memiliki jaminan bahwa kubur
adalah tonggak menuju tempat yang lebih baik.
Kedamaian yang ditawarkan Yesus menjadi
sumber pengharapan dalam menghadapi kematian. Ketika Dia menyemangati para
sahabat-Nya untuk membebaskan diri dari ketakutan dan menerima damai dari Dia,
yang tidak dapat diberikan oleh dunia (Yohanes 14:27), Dia menawarkan damai
yang jauh lebih penting daripada gencatan senjata militer atau perjanjian
damai.
Inilah damai
yang ditunjukkan oleh Yesus sendiri ketika Dia menghadapi masalah-Nya. Pada
akhirnya, para murid akan melihat-Nya bergumul di Taman Getsemani dan kemudian
dengan patuh menjalani hukuman yang tidak begitu saja membunuh-Nya, melainkan
juga untuk lebih dulu menganiaya dan merendahkan-Nya di depan umum.
Yesus sadar bahwa kemesiasan-Nya lebih
dari sekadar menyandang "lambang pemerintahan … di atas
bahu-Nya" dan disebut "Raja Damai" (Yesaya 9:5). Dia sadar bahwa
supaya kita dapat memiliki kedamaian dalam menghadapi kematian, maka Dia harus
menghancurkan kuasa maut. Dia tahu bahwa dosa telah merusak hubungan kita
dengan Allah, dan jika tidak ada penebusan, kita semua akan hidup di bawah
ancaman penghakiman pada akhir zaman dan keterpisahan dari Allah.
Yesus sadar bahwa Dia akan mengalami
keterpisahan dari Bapa dan bahwa Dia harus memikul hukuman yang seharusnya kita
tanggung. Dia sangat memahami nubuat Nabi Yesaya, yang mengatakan:
Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah
yang ditanggung-Nya, dan kesengsaraan kita yang dipikul-Nya, padahal kita
mengira Dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi Dia tertikam oleh
karena pemberontakan kita, Dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran
yang mendatangkan kesela-matan bagi kita ditimpakan kepada-Nya, dan oleh
bilur-bilurnya kita menjadi sembuh (Yesaya 53:4,5).
Alam menggambarkan kesedihan-Nya.
Kegelapan yang tidak biasa menyelimuti bumi mulai dari pukul dua belas siang
hingga tiga sore (Mr 15:33; Lukas 23:44,45), gempa mengguncang bumi, kain
penutup Bait Allah terbelah dari atas sampai ke bawah, batu terbelah, kuburan
terbuka (Matius 27:51,52).
Kita tidak dapat benar-benar memahami
dalamnya iman Yesus — kedamaian yang ada di dalam hati dan
keyakinan akan kasih Allah yang demikian kuat membuat Dia bersedia memikul
kesedihan dan mati secara tragis untuk menggantikan posisi kita. Keberanian
serta iman-Nya yang tidak tertandingi membukakan pintu surga bagi kita semua.
Karena kepercayaan-Nya akan kasih Allah, dosa kita diampuni, dan kita dapat
menyongsong kematian dengan kedamaian di dalam hati. Rasul Paulus menulis:
Sebab jikalau kita, ketika masih
seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian AnakNya, lebih-lebih kita,
yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya! Dan
bukan hanya itu saja! Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan
kita, sebab oleh Dia kita telah menerima pendamaian itu (Roma 5:10,11).
Dan kemudian dalam suratnya kepada
jemaat di Korintus, ia menambahkan:
Jadi siapa yang ada di dalam Kristus,
ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah
datang. Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah menda-maikan
kita dengan diri-Nya dan yang telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu
kepada kami. Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan
tidak memperhitungkan pelang-garan mereka. Ia telah mempercayakan berita
pendamaian itu kepada kami. Jadi kami ini adalah utusan-utusan Kristus, seakan-akan
Allah menasihati kamu dengan perantaraan kami; dalam nama Kristus kami meminta
kepadamu: berilah dirimu didamaikan dengan Allah. Dia yang tidak mengenal dosa
telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan
oleh Allah (2Kor 5:17-21).
Dari sinilah kedamaian berawal. Damai
dengan Allah menjadi landasan bagi kita untuk merasakan kedamaian saat kita
berhadapan dengan apa pun juga.
Diringkas dari Buku Mengapa Tiada Damai di Dunia Ini?, Penyunting: C. Krismariana W, Yoygyakarta: Yayasan Gloria, 2009, halaman 13-14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar