Sabtu, 22 Juni 2013

MASYARAKAT BATAK [KRISTEN] DAN KEDEWASAAN BERPOLITIKNYA DI SUMATERA UTARA



 Menyikapi Hasil PILGUBSU 2013


Oleh: Roimanson Panjaitan, M.Pd.K



Dugaan intrik dan strategi politik yang tidak sehat,  dan suara massa yang terpecah-pecah.

Mungkin sangat jelas dan bahkan masih membekas dalam ingatan kita tentang hasil Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (PILGUBSU) yang diselenggarakan pada tanggal 07 Maret 2013 lalu. Bagaimana tidak, dari sekian pasang cagub/cawagub yang ikut bertarung dalam pertarungan politik, hanya dua orang diantaranya yang beragama Kristen. Satu orang berada pada posisi sebagai calon gubernur (Cagub No 2), sedangkan satu orang lagi berada pada posisi sebagai calon wakil gubernur (Cawagub No 4).


Awalnya kedua calon ini sempat menuai kontroversi dan polemik di kalangan masyarakat banyak, terutama di kalangan para loyalis atau pendukungnya, khususnya di kalangan masyarakat Kristen sendiri. Pasalnya, salah satu calon, yakni cagub No 2  tiba-tiba muncul dan terdengar ke publik SUMUT pada saat-saat terakhir pendaftaran cagub/cawagub akan ditutup oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumut. Sebelumnya calon yang dimaksud tidak pernah terdengar. Sehingga menurut perkiraan, hanya ada satu calon yang orang akan mewakili orang Batak (Kristen) ikut bertarung dalam kompetisi politik demokrasi ini. Tetapi semuanya harus terjadi. Alhasil, calon yang tidak diduga ini muncul sebagai figur Cagub yang diusung oleh partainya sendiri, dan beberapa partai pendukung lain. Sedangkan calon No. 4 yang sudah lebih dulu dikenal, terpaksa harus rela dipinang oleh partai lain dengan catatan sebagai pendampin atau cawagub, karena memang calon no 4 ini bukanlah kader partai politik. Dan dalam urusan politik, apalagi yang menyangkut kepentingan partai politik (parpol) hal tersebut bukanlah sebuah hal yang jarang terjadi. Tetapi sebenarnya, untuk persoalan pilgubsu kali ini, disinalah sebenarnya akar persoalannya. Bagaimana tidak, meski terbilang baru, kehadiran calon No. 2 ini membelah keutuhan suara masyarakat Kristen yang “mungkin” ditujukan kepada calon No. 4. Sampai akhirnya ke dua calon resmi ikut bertarung sebagai cagub dan cawagub untuk periode 2013-2018 bersama dengan pasangan cagub/ cawagub lainnya.

Untuk mendulang suara, masing-masing calon harus tampil proaktif di kalangan masyarakat. Demikian juga yang dilakukan oleh kedua calon ini. Hingga akhirnya dalam masa kampanyepun, hampir kedua “perwakilan” ini seperti berlomba-lomba untuk meraih dimpati masyarakat, yang mungkin hal itu berdasar jika kita menyimak mengikuti mereka tatkala sosialisasi dan pada saat kampanya ke masyarakat di seluruh daerah kabupaten/kota yang ada di wilayah Provinsi SUMUT. Dengan demikian mau tidak mau perpecahan suara masyarakat Kristen seiring dengan waktu semakin tercerai berai. Tetapi sekali lagi, itu harus terjadi.

Organisasi Kristen sebagai wadah “massa” dari Masyarakat Kristenpun akhirnya ikut terbagi-bagi. Perhatian Gereja, STM, Punguan Marga, dll yang menjadi basis daripada masyarakat Kristen ini harus terpengaruh dalam situasi yang disebabkan oleh intrik politik yang terjadi sebelumnya.

Hasil yang mengejutkan!
Pada tanggal 07 Maret 2013, tepatnya hari Kamis dimulai pukul 08 Wib, pesta demokarsipun berlangsung. Pertarungan yang sesungguhnyapun, yakni pemilihan cagub/cawagub secara langsung oleh masyarakatpun terlaksana pada saat itu. Kira-kira pukul 14.00 siang, setelah waktu pencoblosan, masyarakatpun mulai menunggu hasil dari pemungutan suara. Beberapa media TV bekerja sama dengan beberapa lembaga surveypun menayangkan hasil pemungutan suara berdarkan versi hitungan cepat (Quick Qount). Diawal-awal perhitungan, salah satu calon ini, yakni cagub No. 2 sempat memimpin perolehan suara. Namun tak lama kemudian, keadaan mulai berubah. Calon yang ini akhirnya mulai tertinggal dan berada pada urutan ke dua, kurang lebih 23, 4%. Ironisnya, pasangan yang menjadi saingan beratnya dan sekaligus pasangan yang mengunggulinya bukanlah dari calon yang tadinya dianggap sebagai pemilik massa, yakni calon No. 4. Tetapi berasal dari pasangan No. 5 yang berasal dari calon Incumbent. Sebagai catatan, calon ini berasal dari suku dan agama lain dengan perolehan suara berdasarkan versi QC kurang lebih memimpin perolehan suara pada kisaran 32,7%. Alhasil perolehan ini sungguh mengejutkan.

Akankah ini kita biarkan terjadi [lagi]?
Barangkali jika kita menilik persoalan politik di negeri ini seharusnya masalah yang seperti yang terjadi dalam pilgubsu ini tidak seharusnya terjadi, asalkan masyarakat [Kristen] di SUMUT memiliki sikap politik yang bijak. Tetapi sungguh disesalkan, SUMUT yang dikenal sebagai salah satu kantong kekristenan di Indonesia, harus merelakan daerahnya dipimpin oleh orang lain. Masyarakat Kristen seharusnya dapat bersatu dan tidak terpecah-pecah oleh keadaan politik yang tidak sehat. Para calon pemimpin dari kalangan Kristen juga seharusnya tidak mau dipecah-pecah oleh elit-elit politik yang menginginkan agar tokoh Kristen di SUMUT tidak memiliki kuasa untuk memimpin daerahnya sendiri. 
Memang hasil pilgubsu di atas belum merupakan hasil Resmi dari KPU SUMUT. Tetapi setidaknya perolehan suara serta keadaan ini dapat menjadi acuan untuk kita berpikir: “Akankah ini kita biarkan terjadi [lagi]?”.  Gereja, STM, Punguan Marga, dan Lembaga-lembaga maupun organisasi Kristiani lainnya, seharusnya harus memberikan pendidikan politik yang sehat kepada warganya. Sehingga tidak adalagi warga yang tidak ada lagi identitasnya, yang secara administratif membuat warga tidak dapat berpartisipasi untuk memberikan suara. Sehingga tidak ada lagi warga yang menyatakan Golput dengan alasan yang dibuat-buat. Dan perlu diketahui, golput bukanlah sikap Kristen (gereja). Kenapa ini harus ditegaskan? Karena dalam pilgubsu kali ini banyaknya warga yang golput juga diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan berkurangnya suara kepada pasangan Kristen ini. Oleh karena itu, sebaiknya masyarakat Kristen harus bangun. Bangun dari kebodohan karena mau terpecah-pecah; bangun dari kebodohan sikap acuh tidak acuh dalam peristiwa politik; bangun dari kebodohan karena memilih untuk bersikap golput; serta bangun dari kebodohan karena masih adanya sikap egoistis yang pada akhirnya hanya menjerumuskan masyarakat [Kristen] itu sendiri. Sesungguhnya peranan serta kedewasaan masyarakat [Kristen] sangat dibutuhkan jikalau ingin SUMUT maju dan mandiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar