Eksistensi Masyarakat
Hukum Adat Dari Sudut Pandang
Hukum
Positif Dalam Pembangunan Sumatera Utara[1]
Oleh:
Dr.
Budiman N.P.D Sinaga, S.H.,M.H.[2]
Baris-baris ni gaja di rura Pangaloan,
molo marsuru raja ingkon oloan,
molo so ni oloan tubuh hamagoan,
ia nioloan dapot pangomoan.[3]
A. Pendahuluan
Manusia
tidak dapat hidup sendiri. Manusia senantiasa menjalin hubungan dengan orang
lain, termasuk hubungan hukum. Hubungan hukum adalah hubungan antara
dua atau lebih pihak yang diatur oleh kaidah hukum dengan menetapkan
akibat-akibat hukum tertentu kepada para pihak dalam hubungan tersebut.
Pihak-pihak
yang (perilakunya) diatur, yakni yang diberikan akibat hukum berupa kewenangan
atau hak dan kewajiban untuk melakukan perbuatan tertentu oleh kaidah-kaidah hukum positif disebut
subjek hukum. Dalam suatu hubungan hukum, hak dari salah satu pihak adalah
kewajiban dari pihak yang lain, dan sebaliknya. Subjek hukum adalah pemegang
atau pengemban dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Dalam berbagai tatanan
hukum yang modern saat ini dikenal dua jenis subjek hukum, yakni manusia atau
orang (natuurlijke persoon) dan
badan hukum (rechtspersoon). Dalam tatanan hukum (rechtsorde) modern tiap manusia atau tiap orang dipandang dan
dilindungi oleh tatanan hukum sebagai subjek hukum. Sementara itu, ciri-ciri dari sebuah badan-hukum
adalah:[4] (a)
memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang-orang yang
menjalankan kegiatan dari badan-badan hukum tersebut; (b) memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terpisah dari
hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang-orang yang menjalankan kegiatan
badan-hukum tersebut; (c) memiliki tujuan tertentu; (d) berkesinambungan
(memiliki kontinuitas) dalam arti keberadaannya tidak terikat pada orang-orang
tertentu karena hak-hak dan kewajiban-kewajibannya tetap ada meskipun
orang-orang yang menjalankannya berganti.
Apakah
masyarakat hukum adat yang ada sekarang memiliki ciri-ciri badan hukum? Jika
masyarakat hukum adat tersebut sudah memenuhi ciri-ciri suatu badan hukum maka
dapat diakui sebagai subjek hukum. Sebaliknya, jika suatu masyarakat hukum adat
belum memenuhi ciri-ciri suatu badan hukum maka belum dapat diakui sebagai
subjek hukum sehingga belum dapat memiliki hak dan kewajiban.
Penentu suatu badan/perkumpulan/perhimpunan sebagai
badan hukum atau tidak adalah hukum positif yakni hukum yang berlaku pada suatu
daerah/negara tertentu, pada waktu tertentu dan pada masyarakat tertentu.
Misalnya, di Perancis dan Belgia, hukum positifnya mengakui Perseroan Firma
sebagai badan hukum. Sedangkan di Indonesia hukum positifnya tidak mengakuinya
sebagai badan hukum.[5]
Persekutuan
hukum (rechtsgemeenshap) adalah
perikatan manusia yang mempunyai anggota-anggota yang merasa dirinya terikat
dalam kesatuan yang bersatu padu dan penuh solidaritas (sama rasa, sama rata),
dimana anggota-anggota tertentu berkuasa bertindak untuk kesatuan itu
seluruhnya dan dalam mana anggota-anggota mempunyai kepentingan bersama.[6] Ada
dua pendorong pertumbuhan persekutuan hukum, yaitu faktor genealogis dan faktor
teritorial. Jika faktor utama pertautan
antar anggota adalah keturunan bersama maka disebut persekutuan hukum secara
genealogis. Selain itu, suatu kenyataan pula bahwa sekelompok orang mendiami
wilayah (teritoir) tertentu selama puluhan bahkan mungkin ratusan
tahun.
Para ahli hukum adat menjelaskan fenomena tersebut
dengan 3 (tiga) jawaban. Pertama, karena penduduk daerah itu sudah
tinggal bersama-sama, bertetangga, dalam waktu cukup lama. Kedua, mereka
hidup dari kemurahan alam sekitar, dari sumber daya alam apa adanya. Nenek
moyang dan sanak saudara sudah dikubur di sana. Ketiga, alam sekitar
mereka sudah menumbuhkan agama alam, yang menyebabkan keterikatan (religi, dari
kata religare, artinya, mengikat kembali) dengan pencipta semesta alam.[7] Berbicara tentang masyarakat hukum adat (adat rechtsgemeenschappen)
tentu tidak dapat dilepaskan dari hukum adat. Hukum adat di Indonesia memiliki
sifat dan corak khas yang berbeda dengan hukum-hukum lain. Kekhasan ini pertama
kali dikemukakan F.D Holleman dalam buku De
Commune Trek in het Indonesische Rechtsleven. Dia mengkontruksikan 4
(empat) sifat umum masyarakat adat, yaitu magis
religius, komunal, konkret, dan kontan.[8]
Berbagai permasalahan yang terjadi di Indonesia termasuk
di Sumatera Utara seringkali melibatkan masyarakat hukum adat dan hukum adat.
Sehubungan dengan berbagai permasalahan yang melibatkan masyarakat hukum adat dapat
diajukan berbagai pertanyaan, antara lain: Bagaimanakah pengaturan tentang eksistensi
masyarakat hukum adat dalam hukum positif dalam pembangunan Sumatera Utara?
B. Pembahasan
Ilmu
hukum positif adalah ilmu tentang hukum yang berlaku di suatu negara atau
masyarakat tertentu pada saat tertentu. Dengan demikian dalam kehidupan
masyarakat Indonesia hukum positif adalah hukum yang berlaku di Indonesia pada
waktu ini.[9]
Jadi, hal yang dibicarakan adalah hukum
yang nyata berlaku (ius constitutum) di Indonesia, bukan hukum masa
depan yang diidam-idamkan (ius constituendum), tidak pula hukum kodrati
atau alami (ius naturale atau natural law) yang bersifat
universal.
Selanjutnya
perlu juga diketahui tentang “positivitas” kaidah hukum. Adapun yang dimaksud
dengan “positivitas” kaidah hukum adalah hal ditetapkannya kaidah hukum dalam
sebuah aturan hukum oleh pengemban kewenangan hukum yang berwenang (bevoegde rechtsautoriteit). Dengan itu,
maka aturan hukum itu disebut aturan hukum positif. “Hukum positif” adalah
terjemahan dari “ius positum” dalam bahasa Latin, yang secara harafiah berarti
“hukum yang ditetapkan” (gesteld recht).
Jadi, hukum positif adalah hukum yang ditetapkan oleh manusia, karena itu dalam
ungkapan kuno disebut “stellig recht”.[10] Sehubungan
dengan itu, selanjutnya perlu diselidiki berbagai hukum positif yang berlaku di
Indonesia. Adapun hukum positif yang
paling penting di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar. Dalam Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945) dinyatakan:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam Undang-Undang.
Dari ketentuan di atas dapat diketahui dengan jelas bahwa eksistensi
masyarakat hukum adat diakui dan dihormati di negara kesatuan Republik
Indonesia. Pengakuan dalam Undang-Undang Dasar merupakan yang terpenting selain
pengakuan dalam berbagai peraturan perundang-undangan[11]
lain seperti: Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Hukum
adat dalam banyak hal sama tetapi dalam beberapa hal berbeda dengan hukum lain (modern).
Ada beberapa lembaga yang hanya terdapat dalam hukum adat atau khas untuk hukum
adat (specifiek voor het adatrecht).[12] Contoh A memiliki sebidang sawah. A tidak
dapat mengerjakan tetapi ingin sawah itu
tetap berproduksi. Kemudian A mengadakan perjanjian dengan B supaya mengerjakan
sawah itu dan menyerahkan sebagian hasil sawah kepada A. Perjanjian semacam ini hanya dikenal dalam
hukum adat. Meskipun berbagai masyarakat hukum adat mengenal perjanjian ini
tetapi menggunakan istilah yang berbeda.
Perjanjian pengusahaan
tanah dengan bagi hasil di Minangkabau disebut memperduai, di Minahasa disebut tojo,
di Jawa Tengah dan Timur disebut maro atau mertelu, di Priangan disebut nengah
atau jejuron, dan di Lombok disebut nyakap. Perjanjian ini telah diberikan
pengakuan dan perlindungan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil.
Undang-Undang di atas merupakan contoh Undang-Undang
yang dibuat berdasarkan hukum adat. Akan tetapi, patut disayangkan
Undang-Undang semacam ini tidak banyak. Kebanyakan Undang-Undang justeru dibuat
tidak didasarkan pada hukum adat melainkan hukum lain yang seringkali tidak
sejalan bahkan bertentangan dengan hukum adat atau kesadaran hukum masyarakat
hukum adat. Harus
diakui bahwa seringkali hukum adat berbeda dengan hukum positif yang berlaku di
Indonesia tetapi itu tidak menjadi alasan untuk menafikan hukum adat pada
masyarakat adat di suatu daerah.
Masyarakat
adat di Yahukimo adalah salah satu contoh bentuk masyarakat adat yang masih
menggunakan hukum adat dalam berbagai pola kehidupan, oleh karena itu pada
pelaksanaan pemilu sekalipun mereka menggunakan hukum adatnya sendiri dan tidak
berpedoman pada UU Pemilu.[13] Pemungutan
suara di distrik Lolat dilakukan secara
aklamasi, seluruh tokoh dan masyarakat Lolat dikumpulkan di suatu lokasi.
Pelaksanaan pemungutan suara dipimpin oleh Ketua Adat. Secara aklamasi mereka
memilih partai politik dan calon anggota Dewan Perwaikilan Daerah (DPD) Papua.
Pemungutan suara semacam ini berbeda dengan asas pemilu dalam hukum positif
yang mengharuskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber
Jurdil).
Aklamasi
atau mupakat sesungguhnya memang dianut oleh hampir semua masyarakat hukum
adat. Misalnya, di Minangkabau[14]
ada pepatah yang berbunyi:
“Bule daie de pambulual”
“Bule kato de mupakat”
Artinya: Air memancar dengan bulat oleh karena pembuluh dan putusan
menjadi bulat oleh karena mupakat.
Mana
kala terjadi pertikaian dalam masyarakat hukum adat akan diselesaikan dengan
mupakat juga. Pertikaian itu akan dipecahkan bukan sekedar diputuskan. Berdasarkan pengamatan di
desa-desa di Kabupaten Tulungagung
sebelum perang kemerdekaan Indonesia, Holleman[15] menyimpulkan bahwa kaum bumiputera mempunyai
mekanisme penyelesaian masalah yang sangat khas atau tipikal (memiliki tipe atau profilnya sendiri). Datam kasus utang piutang, misalnya, apabita salah
satu pihak cidera janji (biasanya pihak debitur), kedua belah pihak
cenderung memilih langkah-langkah berikut:
- menempuh cara permufakatan, jika hat itu tidak berhasil maka:
- salah satu pihak didesak untuk mengalah, kalau cara itu juga belum berhasil, maka:
- persoalan dibawa ke hadapan kepala desa atau lurah, kalau itupun tidak berhasil, maka:
- dicarilah berbagai cara lain, sehingga akhirnya dapat berhasil entah kapan. Pokoknya, sampai masalah itu terpecahkan.
Mekanisme
ini sangat berbeda dengan mekanisme yang dikenal di luar hukum adat atau bukan masyarakat hukum adat. Di sana pengambilan
putusan seringkali harus segera diambil karena keterbatasan waktu tanpa perlu
berusaha mencapai mupakat.
Dalam
berbagai konflik yang terjadi di tanah air seringkali masyarakat terlebih
masyarakat hukum adat tidak takut terhadap hukum termasuk hukum yang memuat
ancaman sanksi yang sangat berat. Mengenai hal ini, cukup menarik menyelami apresiasi orang Angkola-Mandailing dan
Toba terhadap nilai-nilai hukum dengan menelaah suatu ungkapan yang terkenal
berikut ini.
Versi
Angkola-Mandailing: Togu pe urat ni bulu, Toguan dope urat ni antoladan.
Togu pe hata ni uhum, Toguan dope hata ni janji dohot padan. Artinya,
walaupun akar bambu kuat, lebih kuat lagi akar antoladan. Walaupun kuat
keputusan hukum, lebih kuat lagi keputusan janji dan ikrar.
Versi
Toba: Togu urat ni bulu, toguan urat ni padang. Togu hata ni uhum toguan
hata ni padan. Artinya, walaupun kuat akar bambu, lebih kuat lagi akar ilalang. Walaupun kuat keputusan hukum,
lebih kuat lagi keputusan janji.[16]
Dengan
mengetahui kenyataan di atas, Pemerintah (Daerah) tidak harus selalu mengatur
masyarakat terutama masyarakat hukum adat dengan hukum atau peraturan
perundang-undangan. Setidak-tidaknya Pemerintah (Daerah) perlu melibatkan
masyarakat hukum adat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Oleh
karena itu, sangat tepat ketentuan dalam Pasal 96 ayat (1) dan
(3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa masyarakat berhak memberikan
masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Masyarakat adalah orang perseorangan atau kelompok orang
yang mempunyai kepentingan atas
substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Termasuk dalam kelompok orang
antara lain, kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya
masyarakat, dan masyarakat adat. Jika ketentuan ini dilaksanakan dapat
diharapkan akan terbentuk masyarakat yang teratur. Masyarakat akan teratur,
bila semua kepentingan dipelihara dengan baik, dan bila semua kepentingan, baik
umum maupun individual, diperhatikan secara seimbang oleh para penguasa.[17]
Dalam
kaitan pembangunan di Provinsi Sumatera Utara manfaat
hukum adat bagi pembangunan atau pembangunan hukum khususnya, adalah:
- Ada kecenderungan di dalam hukum adat untuk merumuskan keteraturan perilaku mengenai peranan atau fungsi,
- Di dalam hukum adat biasanya perilaku-perilaku dengan segala akibat-akibatnya dirumuskan secara menyeluruh, terutama untuk perilaku menyimpang dengan sanksinya yang negatif
- Biasanya di dalam hukum adat dirumuskan perihal pola penyelesaian sengketa yang mungkin terjadi, yang kadang-kadang bersifat simbolis, dengan mengadakan atau menyelenggarakan upacara-upacara tertentu.[18]
Pembangunan Sumatera Utara yang melibatkan masyarakat
hukum adat dapat diharapkan akan lebih lancar sebab sudah sesuai dengan
keinginan mereka sehingga tidak akan mendapatkan perlawanan lagi. Seiring dengan itu, konflik akan semakin berkurang
bahkan dapat hilang sama sekali.
C. Penutup
Eksistensi
masyarakat hukum adat sudah diakui dan dihormati Negara sebagaimana dinyatakan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan
berbagai peratuan perundang-undangan lain. Keberadaan masyarakat hukum adat di
Sumatera Utara harus dimanfaatkan untuk menunjang kelancaran pembangunan dengan
melibatkannya. Sehubungan dengan itu, Pemerintah (Daerah) perlu memberikan
kesempatan yang semakin luas bagi masyarakat hukum adat untuk terlibat langsung
dalam pembangunan, seperti melibatkan dalam perencanaan pembangunan termasuk
pembuatan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pembangunan sehingga
mereka akan bertanggung jawab untuk ikut menyukseskan pembangunan. Sehubungan
dengan itu, masyarakat hukum adat perlu terus menerus menggali dan
mengembangkan hukum adat serta berusaha memasukkan hukum adat dalam hukup
positif.
Daftar
Pustaka
Ahmad Zazili, “Pengakuan Negara
Terhadap Hak-hak Politik (Right to Vote)
Masyarakat Adat Dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum (Studi Putusan Mahkamah
Konstitusi No.47-81/PHPU.A-VII/2009),
Jurnal Konstitusi, Volume 9 Nomor 1, Maret 2012.
C.S.T Kansil. Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1993.
J.C
Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat
Toba, Yogyakarta, LkiS, 2004.
J.J.H. Bruggink, alih bahasa: B.
Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Bandung,
Citra Aditya Bakti, 1999.
Lance
Castles, Kehidupan Politik Suatu
Keresidenan di Sumatera: Tapanuli 1915-1940, Jakarta, KPG (Kepustakaan
Populer Gramedia) bekerja sama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford
Foundation, 2001.
Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief
Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu
Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung, Alumni,
2000.
Nico Ngani, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Yustisia,
2012.
Otje
Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi
Hukum Adat Kontemporer: Telaah Kritis terhadap Hukum Adat sebagai Hukum yang
Hidup dalam Masyarakat, Bandung, Alumni, 2002.
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung, Alumni, 1985.
Soepomo,
Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta,
Pradnya Paramita, 2003.
Soerjono
Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta,
RajaGrafindo Persada, 1983.
Theo
Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan
Sejarah, Yogyakarta, Kanisius, 1982.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
----------
budiman_npds@yahoo.com ----------
[1] Makalah
seminar yang diadakan Kerukunan Masyarakat Batak (KERABAT), Medan, 5 Maret
2013.
[2]
Dosen Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen.
[3]
J.C Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat
Toba, Yogyakarta, LkiS, 2004, hal.163.
[4]
Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya
Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 2000, hal. 82.
[5]
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan
Asas-asas Hukum Perdata, Bandung, Alumni, 1985, hal. 63.
[6]
Nico Ngani, Perkembangan Hukum Adat
Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2012, hal. 15.
[7]
Ibid, hal.16.
[8]
Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi
Hukum Adat Kontemporer: Telaah Kritis terhadap Hukum Adat sebagai Hukum yang
Hidup dalam Masyarakat, Bandung, Alumni, 2002, hal. 29.
[9]
Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief Sidharta, hal. 1.
[10]
J.J.H. Bruggink, alih bahasa: B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999, hal.
142.
[11]
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum
yang mengikat secara umum dan dibentuk
atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui
prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. (Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan)
[12]
C.S.T Kansil. Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta,
Balai Pustaka, 1993, hal.362.
[13]
Ahmad Zazili, “Pengakuan Negara Terhadap Hak-hak Politik (Right to Vote) Masyarakat Adat Dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum
(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi No.47-81/PHPU.A-VII/2009), Jurnal Konstitusi, Volume 9 Nomor 1,
Maret 2012, hal. 135.
[14]
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta,
Pradnya Paramita, 2003, hal.71.
[15]
Terpetik dari Nico Ngani, Perkembangan
Hukum Adat Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2012, hal.123.
[16] Lance
Castles, Kehidupan Politik Suatu
Keresidenan di Sumatera: Tapanuli 1915-1940, Jakarta, KPG (Kepustakaan
Populer Gramedia) bekerja sama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford
Foundation, 2001, hal.xxii.
[17]
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam
Lintasan Sejarah, Yogyakarta, Kanisius, 1982, hal.287.
[18]
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta,
RajaGrafindo Persada, 1983, hal.377.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar