Minggu, 16 Juni 2013

Bahan Seminar Masyarakat Hukum Adat (MAHUDAT)

Eksistensi Masyarakat Hukum Adat Dari Sudut Pandang
Hukum Positif Dalam Pembangunan Sumatera Utara[1]
Oleh:
Dr. Budiman N.P.D Sinaga, S.H.,M.H.[2]


Baris-baris ni gaja di rura Pangaloan,
molo marsuru raja ingkon oloan,
molo so ni oloan tubuh hamagoan,
ia nioloan dapot pangomoan.[3]

A.          Pendahuluan

Manusia tidak dapat hidup sendiri. Manusia senantiasa menjalin hubungan dengan orang lain, termasuk hubungan hukum. Hubungan hukum adalah hubungan antara dua atau lebih pihak yang diatur oleh kaidah hukum dengan menetapkan akibat-akibat hukum tertentu kepada para pihak dalam hubungan tersebut.

Pihak-­pihak yang (perilakunya) diatur, yakni yang diberikan akibat hukum berupa kewenangan atau hak dan kewa­jiban untuk melakukan perbuatan tertentu  oleh kai­dah-kaidah hukum positif disebut subjek hukum. Dalam suatu hubungan hukum, hak dari salah satu pihak adalah kewajiban dari pihak yang lain, dan sebaliknya. Subjek hukum adalah pemegang atau pengemban dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Dalam berbagai tatanan hukum yang modern saat ini dikenal dua jenis subjek hukum, yakni manusia atau orang (natuurlijke persoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Dalam tatanan hukum (rechtsorde) modern  tiap manusia atau tiap orang dipandang dan dilindungi oleh tatanan hukum sebagai subjek hukum. Sementara itu, ciri-ciri dari sebuah badan-hukum adalah:[4] (a) memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang-orang yang menjalankan kegiatan dari badan-badan hukum tersebut; (b) memiliki hak­-hak dan kewajiban-kewajiban yang terpisah dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang-orang yang menjalankan kegiatan badan-hukum tersebut; (c) memiliki tujuan tertentu; (d) berkesinambungan (memiliki kontinuitas) dalam arti keberadaannya tidak terikat pada orang-orang tertentu karena hak-hak dan kewajiban-kewajibannya tetap ada meskipun orang-orang yang menjalankannya berganti. 
Apakah masyarakat hukum adat yang ada sekarang memiliki ciri-ciri badan hukum? Jika masyarakat hukum adat tersebut sudah memenuhi ciri-ciri suatu badan hukum maka dapat diakui sebagai subjek hukum. Sebaliknya, jika suatu masyarakat hukum adat belum memenuhi ciri-ciri suatu badan hukum maka belum dapat diakui sebagai subjek hukum sehingga belum dapat memiliki hak dan kewajiban.
Penentu suatu badan/perkumpulan/perhimpunan sebagai badan hukum atau tidak adalah hukum positif yakni hukum yang berlaku pada suatu daerah/negara tertentu, pada waktu tertentu dan pada masyarakat tertentu. Misalnya, di Perancis dan Belgia, hukum positifnya mengakui Perseroan Firma sebagai badan hukum. Sedangkan di Indonesia hukum positifnya tidak mengakuinya sebagai badan hukum.[5] 
Persekutuan hukum (rechtsgemeenshap) adalah perikatan manusia yang mempunyai anggota-anggota yang merasa dirinya terikat dalam kesatuan yang bersatu padu dan penuh solidaritas (sama rasa, sama rata), dimana anggota-anggota tertentu berkuasa bertindak untuk kesatuan itu seluruhnya dan dalam mana anggota-anggota mempunyai kepentingan bersama.[6] Ada dua pendorong pertumbuhan persekutuan hukum, yaitu faktor genealogis dan faktor teritorial.  Jika faktor utama pertautan antar anggota adalah keturunan bersama maka disebut persekutuan hukum secara genealogis. Selain itu, suatu kenyataan pula bahwa sekelompok orang mendiami wilayah (teritoir)  tertentu selama puluhan bahkan mungkin ratusan tahun.  
Para ahli hukum adat menjelaskan fenomena tersebut dengan 3 (tiga) jawaban. Pertama, karena penduduk daerah itu sudah tinggal bersama-sama, bertetangga, dalam waktu cukup lama. Kedua, mereka hidup dari kemurahan alam sekitar, dari sumber daya alam apa adanya. Nenek moyang dan sanak saudara sudah dikubur di sana. Ketiga, alam sekitar mereka sudah menumbuhkan agama alam, yang menyebabkan keterikatan (religi, dari kata religare, artinya, mengikat kembali) dengan pencipta semesta alam.[7] Berbicara tentang masyarakat hukum adat (adat rechtsgemeenschappen) tentu tidak dapat dilepaskan dari hukum adat. Hukum adat di Indonesia memiliki sifat dan corak khas yang berbeda dengan hukum-hukum lain. Kekhasan ini pertama kali dikemukakan F.D Holleman dalam buku De Commune Trek in het Indonesische Rechtsleven. Dia mengkontruksikan 4 (empat) sifat umum masyarakat adat, yaitu magis religius, komunal, konkret, dan kontan.[8]
Berbagai permasalahan yang terjadi di Indonesia termasuk di Sumatera Utara seringkali melibatkan masyarakat hukum adat dan hukum adat. Sehubungan dengan berbagai permasalahan yang melibatkan masyarakat hukum adat dapat diajukan berbagai pertanyaan, antara lain: Bagaimanakah pengaturan tentang eksistensi masyarakat hukum adat dalam hukum positif dalam pembangunan Sumatera Utara?

B.           Pembahasan

Ilmu hukum positif adalah ilmu tentang hukum yang berlaku di suatu negara atau masyarakat tertentu pada saat tertentu. Dengan demikian dalam kehidupan masyarakat Indonesia hukum positif adalah hukum yang berlaku di Indonesia pada waktu ini.[9] Jadi,  hal yang dibicarakan adalah hukum yang nyata berlaku (ius constitutum) di Indonesia, bukan hukum masa depan yang diidam-idamkan (ius constituendum), tidak pula hukum kodrati atau alami (ius naturale atau natural law) yang bersifat universal. 
Selanjutnya perlu juga diketahui tentang “positivitas” kaidah hukum. Adapun yang dimaksud dengan “positivitas” kaidah hukum adalah hal ditetapkan­nya kaidah hukum dalam sebuah aturan hukum oleh pengemban ke­wenangan hukum yang berwenang (bevoegde rechtsautoriteit). Dengan itu, maka aturan hukum itu disebut aturan hukum positif. “Hukum positif” adalah terjemahan dari “ius positum” dalam bahasa Latin, yang secara harafiah berarti “hukum yang ditetapkan” (gesteld recht). Jadi, hukum positif adalah hukum yang ditetapkan oleh manusia, karena itu dalam ungkapan kuno disebut “stellig recht”.[10] Sehubungan dengan itu, selanjutnya perlu diselidiki berbagai hukum positif yang berlaku di Indonesia.  Adapun hukum positif yang paling penting di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar. Dalam Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dinyatakan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang. 
Dari ketentuan di atas  dapat diketahui dengan jelas bahwa eksistensi masyarakat hukum adat diakui dan dihormati di negara kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan dalam Undang-Undang Dasar merupakan yang terpenting selain pengakuan dalam berbagai peraturan perundang-undangan[11] lain seperti: Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. 
Hukum adat dalam banyak hal sama tetapi dalam beberapa hal berbeda dengan hukum lain (modern). Ada beberapa lembaga yang hanya terdapat dalam hukum adat atau khas untuk hukum adat (specifiek voor het adatrecht).[12] Contoh A memiliki sebidang sawah. A tidak dapat mengerjakan  tetapi ingin sawah itu tetap berproduksi. Kemudian A mengadakan perjanjian dengan B supaya mengerjakan sawah itu dan menyerahkan sebagian hasil sawah kepada A.  Perjanjian semacam ini hanya dikenal dalam hukum adat. Meskipun berbagai masyarakat hukum adat mengenal perjanjian ini tetapi menggunakan istilah yang berbeda. 
Perjanjian pengusahaan tanah dengan bagi hasil di Minangkabau disebut memperduai, di Minahasa disebut tojo, di Jawa Tengah dan Timur disebut  maro atau mertelu, di Priangan disebut nengah atau jejuron, dan di Lombok disebut nyakap. Perjanjian ini telah diberikan pengakuan dan perlindungan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil. 
Undang-Undang di atas merupakan contoh Undang-Undang yang dibuat berdasarkan hukum adat. Akan tetapi, patut disayangkan Undang-Undang semacam ini tidak banyak. Kebanyakan Undang-Undang justeru dibuat tidak didasarkan pada hukum adat melainkan hukum lain yang seringkali tidak sejalan bahkan bertentangan dengan hukum adat atau kesadaran hukum masyarakat hukum adat. Harus diakui bahwa seringkali hukum adat berbeda dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia tetapi itu tidak menjadi alasan untuk menafikan hukum adat pada masyarakat adat di suatu daerah.
Masyarakat adat di Yahukimo adalah salah satu contoh bentuk masyarakat adat yang masih menggunakan hukum adat dalam berbagai pola kehidupan, oleh karena itu pada pelaksanaan pemilu sekalipun mereka menggunakan hukum adatnya sendiri dan tidak berpedoman pada UU Pemilu.[13] Pemungutan suara  di distrik Lolat dilakukan secara aklamasi, seluruh tokoh dan masyarakat Lolat dikumpulkan di suatu lokasi. Pelaksanaan pemungutan suara dipimpin oleh Ketua Adat. Secara aklamasi mereka memilih partai politik dan calon anggota Dewan Perwaikilan Daerah (DPD) Papua. Pemungutan suara semacam ini berbeda dengan asas pemilu dalam hukum positif yang mengharuskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber Jurdil).
Aklamasi atau mupakat sesungguhnya memang dianut oleh hampir semua masyarakat hukum adat. Misalnya, di Minangkabau[14] ada pepatah yang berbunyi:
“Bule daie de pambulual”
“Bule kato de mupakat”
Artinya: Air memancar dengan bulat oleh karena pembuluh dan putusan menjadi bulat oleh karena mupakat.
Mana kala terjadi pertikaian dalam masyarakat hukum adat akan diselesaikan dengan mupakat juga. Pertikaian itu akan dipecahkan bukan sekedar diputuskan. Berdasarkan pengamatan di desa-desa di Kabupaten Tulungagung sebelum perang kemerdekaan Indonesia, Holleman[15] menyimpulkan bahwa kaum bumiputera mempunyai mekanisme penyelesaian masalah yang sangat khas atau tipikal (memiliki tipe atau profilnya sendiri). Datam kasus utang piutang, misalnya, apabita salah satu pihak cidera janji (biasanya pihak debitur), kedua belah pihak cenderung memilih langkah-langkah berikut:
  • menempuh cara permufakatan, jika hat itu tidak berhasil maka: 
  • salah satu pihak didesak untuk mengalah, kalau cara itu juga belum berhasil, maka: 
  • persoalan dibawa ke hadapan kepala desa atau lurah, kalau itupun tidak berhasil, maka: 
  • dicarilah berbagai cara lain, sehingga akhirnya dapat berhasil entah kapan. Pokoknya, sampai masalah itu terpecahkan.
Mekanisme ini sangat berbeda dengan mekanisme yang dikenal di luar hukum adat  atau bukan masyarakat hukum adat. Di sana pengambilan putusan seringkali harus segera diambil karena keterbatasan waktu tanpa perlu berusaha mencapai mupakat.
Dalam berbagai konflik yang terjadi di tanah air seringkali masyarakat terlebih masyarakat hukum adat tidak takut terhadap hukum termasuk hukum yang memuat ancaman sanksi yang sangat berat. Mengenai hal ini, cukup menarik  menyelami apresiasi orang Angkola-Mandailing dan Toba terhadap nilai-nilai hukum dengan menelaah suatu ungkapan yang terkenal berikut ini.
Versi Angkola-Mandailing: Togu pe urat ni bulu, Toguan dope urat ni antoladan. Togu pe hata ni uhum, Toguan dope hata ni janji dohot padan. Artinya, walaupun akar bambu kuat, lebih kuat lagi akar antoladan. Walaupun kuat keputusan hukum, lebih kuat lagi keputusan janji dan ikrar.
Versi Toba: Togu urat ni bulu, toguan urat ni padang. Togu hata ni uhum toguan hata ni padan. Artinya, walaupun kuat akar bambu, lebih kuat lagi akar ilalang. Walaupun kuat keputusan hukum, lebih kuat lagi kepu­tusan janji.[16]
Dengan mengetahui kenyataan di atas, Pemerintah (Daerah) tidak harus selalu mengatur masyarakat terutama masyarakat hukum adat dengan hukum atau peraturan perundang-undangan. Setidak-tidaknya Pemerintah (Daerah) perlu melibatkan masyarakat hukum adat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, sangat tepat ketentuan dalam Pasal 96 ayat (1) dan (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Masyarakat adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai  kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Termasuk dalam kelompok orang antara lain, kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat. Jika ketentuan ini dilaksanakan dapat diharapkan akan terbentuk masyarakat yang teratur. Masyarakat akan teratur, bila semua kepentingan dipelihara dengan baik, dan bila semua kepentingan, baik umum maupun individual, diperhatikan secara seimbang oleh para penguasa.[17]
            Dalam kaitan pembangunan di Provinsi Sumatera Utara manfaat hukum adat bagi pembangunan atau pembangunan hukum khususnya, adalah:
  1. Ada kecenderungan di dalam hukum adat untuk merumuskan ke­teraturan perilaku mengenai peranan atau fungsi, 
  2.  Di dalam hukum adat biasanya perilaku-perilaku dengan segala aki­bat-akibatnya dirumuskan secara menyeluruh, terutama untuk peri­laku menyimpang dengan sanksinya yang negatif
  3. Biasanya di dalam hukum adat dirumuskan perihal pola penyele­saian sengketa yang mungkin terjadi, yang kadang-kadang bersifat simbolis, dengan mengadakan atau menyelenggarakan upacara-upa­cara tertentu.[18]
Pembangunan Sumatera Utara yang melibatkan masyarakat hukum adat dapat diharapkan akan lebih lancar sebab sudah sesuai dengan keinginan mereka sehingga tidak akan mendapatkan perlawanan lagi. Seiring  dengan itu, konflik akan semakin berkurang bahkan dapat hilang sama sekali.

C.          Penutup

Eksistensi masyarakat hukum adat sudah diakui dan dihormati Negara sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan berbagai peratuan perundang-undangan lain. Keberadaan masyarakat hukum adat di Sumatera Utara harus dimanfaatkan untuk menunjang kelancaran pembangunan dengan melibatkannya. Sehubungan dengan itu, Pemerintah (Daerah) perlu memberikan kesempatan yang semakin luas bagi masyarakat hukum adat untuk terlibat langsung dalam pembangunan, seperti melibatkan dalam perencanaan pembangunan termasuk pembuatan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pembangunan sehingga mereka akan bertanggung jawab untuk ikut menyukseskan pembangunan. Sehubungan dengan itu, masyarakat hukum adat perlu terus menerus menggali dan mengembangkan hukum adat serta berusaha memasukkan hukum adat dalam hukup positif.

Daftar Pustaka

Ahmad Zazili, “Pengakuan Negara Terhadap Hak-hak Politik (Right to Vote) Masyarakat Adat Dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi No.47-81/PHPU.A-VII/2009), Jurnal Konstitusi, Volume 9 Nomor 1, Maret 2012.
C.S.T Kansil. Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1993.
J.C Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Toba, Yogyakarta, LkiS, 2004.
J.J.H. Bruggink, alih bahasa: B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999.
Lance Castles, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli 1915-1940, Jakarta, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) bekerja sama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, 2001.
Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 2000.
Nico Ngani, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2012.
Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer: Telaah Kritis terhadap Hukum Adat sebagai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat, Bandung, Alumni, 2002.
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung, Alumni, 1985.
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita, 2003.
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1983.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta, Kanisius, 1982.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil
Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.


[1] Makalah seminar yang diadakan Kerukunan Masyarakat Batak (KERABAT), Medan, 5 Maret 2013.
[2] Dosen Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen.  
[3] J.C Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Toba, Yogyakarta, LkiS, 2004, hal.163.
[4] Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 2000, hal. 82.
[5] Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung, Alumni, 1985, hal. 63.
[6] Nico Ngani, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2012, hal. 15.
[7] Ibid,  hal.16.
[8] Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer: Telaah Kritis terhadap Hukum Adat sebagai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat, Bandung, Alumni, 2002, hal. 29.
[9] Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief Sidharta, hal. 1.
[10] J.J.H. Bruggink, alih bahasa: B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 142.
[11] Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang  mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan)
[12] C.S.T Kansil. Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1993, hal.362.
[13] Ahmad Zazili, “Pengakuan Negara Terhadap Hak-hak Politik (Right to Vote) Masyarakat Adat Dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi No.47-81/PHPU.A-VII/2009), Jurnal Konstitusi, Volume 9 Nomor 1, Maret 2012, hal. 135.
[14] Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita, 2003, hal.71.
[15] Terpetik dari Nico Ngani, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2012, hal.123.
[16] Lance Castles, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli 1915-1940, Jakarta, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) bekerja sama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, 2001, hal.xxii.
[17] Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta, Kanisius, 1982, hal.287.
[18] Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1983, hal.377.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar