Oleh: Andar Ismail[1]
Pendahuluan
Melayani anak adalah
salah satu hakekat dan panggilan gereja. Aspek yang dominan dari pelayanan
untuk anak adalah pelayanan pendidikan. Berkaitan dengan itu terdapat
aspek-aspek pelayanan lain, yaitu pelayanan, pengajaran, pelayanan pemeliharaan
(misalnya bagi anak yatim piatu), pelayanan pembelaan (misalnya untuk anak
cacat dan buruh anak), pelayanan perlindungan (misalnya bagi perilaku kejam,
perkosaan dan anak korban kejahatan orang dewasa) dan pelayanan aspek
lain-lainnya.
Tiap aspek pelayanan
itu berbeda namun dapat juga saling bertumpang tindih. Misalnya pelayanan
pendidikan dalam bentuk pengadaan bacaan edukatif bagi anak sekaligus juga
merupakan pelayanan perlindungan kepada anak dari bacaan yang destruktif. Jadi
pelayanan gerejawi kepada anak merupakan suatu keutuhan.
Yang dimaksud dengan
anak di sini terutama adalah golongan usia di bawah 12 tahun. Namun asas-asas
pemikiran di sini berlaku juga remaja dan pemuda, apalagi jika diingat bahwa
menurut pengertian hukum yang dimaksud dengan anak cukup luas golongan usianya,
misalnya 18 tahun menurut konvensi PBB atau 21 tahun menurut UU Kesejahteraan
Anak tahun 1979 di Indonesia.
Dasar dari Agama Yahudi Purba
Gereja Kristen lahir
dari tradisi agama Yahudi sebelum abad Masehi. Berbeda dengan budaya Yunani -
Romawi yang kuat di bagian dunia dan zaman itu, maka budaya Yahudi lebih
menjunjung martabat anak.
Ketika Yesus hidup di
Palestina, budaya Yunani - Romawi masih mempunyai kelaziman membuang bayi
perempuan, bayi cacat atau bayi sakit. Anak laki-laki yang sehat dinilai
berguna untuk kelak dijadikan tenaga kerja atau tentara. Yang diberi nama biasanya
hanya anak laki-laki pertama dan kedua; yang lainnya dipanggil dengan nomor.
Anak yang dibuang biasanya diambil oleh para pengemis dan dimanfaatkan untuk
menimbulkan rasa kasihan orang banyak, atau untuk dijual sebagai budak kecil
dan yang perempuan sebagai pelacur kecil.[2]
Walaupun budaya
Yahudi Purba tentang anak tidak dalam segala hal bisa dipuji (misalnya dalam
hal diskriminasi jenis kelamin), namun budaya Yahudi mempunyai konsepsi yang
lebih tinggi terhadap anak. Kalau budaya Gerika Romawi terutama memberi arti
ekonomis kepada anak, maka budaya Yahudi memberi arti teologis dan pedagogis.
Anak dinilai sebagai warisan berharga yang diberikan turun-temurun dari Tuhan:
"Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka daripada Tuhan, dan
buah kandungan adalah sesuatu upah" (Mzm 127:3). Mengandung dan melahirkan dinilai sebagai bagian
dari proses penciptaan oleh Tuhan (Kej 1:28), kesuburan kandungan sebagai bagian dari janji Tuhan
(Kej 12:3).
Konsep yang tinggi
tentang anak disebabkan oleh keyakinan umat Israel sebagai umat pilihan,
sehingga anak mempunyai fungsi meneruskan Taurat. Sebab itu anak perlu mendapat
pendidikan yang baik agar hidup sesuai dengan Taurat. Sepanjang Perjanjian Lama
ada garis merah yang menekankan perlunya orangtua mendidik anak: "Haruslah
engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu..." (Ul 6:4-9).
Tujuan pendidikan
adalah agar sejak usia dini orang mempunyai pengetahuan dan hikmat.[3] Di
sini pengetahuan dan hikmat mengandung arti religius. Ada ayat yang menunjukkan
itu secara eksplisit: "Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan,
tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan" (Ams 1:7). Ada pula yang implisit: "Apabila di kemudian
hari anakmu bertanya kepadamu: Apakah peringatan, ketetapan dan peraturan itu,
yang diperintahkan kepadamu oleh Tuhan Allah kita? Maka haruslah engkau
menjawab anakmu itu: Kita dahulu adalah budak Firaun di Mesir, tetapi Tuhan
membawa kita keluar dari Mesir..." (Ul 6:20-21).
Dalam Tugas
pendidikan ini orangtua dianggap sebagai penyambung lidah Tuhan. Sebab itu
orangtua patut menjadi teladan dan berwibawa. "Hormatilah ayahmu dan
ibumu..." (Ul 5:16). "Terkutuklah orang yang memandang rendah ibu
dan bapanya..." (Ul 27:17). Hukuman terhadap anak yang melawan orangtua tidak
kepalang tanggung yaitu hukuman mati (Lihat Ul 21:18-21). Mungkin hukum yang kurang manusiawi ini dibuat
dalam rangka preventif ("akan mendengar dan menjadi takut," ay. 21) dan sepanjang sumber-sumber sejarah, barangkali belum
pernah terlaksana.[4]
Budaya Yunani Purba
juga mengenal pelayanan pembelaan kepada anak berposisi lemah secara politis
(misalnya anak orang asing) atau secara sosial (anak yatim piatu),
"Janganlah engkau memperkosa hak orang asing dan anak yatim piatu" (Ul 24:17). "...Belalah hak anak-anak yatim" (Yes 1:17). Tentang anak cacat ada kisah Mefiboset yang kedua
kakinya timpang, namun dikasihi ayahnya Jonatan dan kemudian hari dihargai oleh
raja Daud (2Sam 4:4 dan 9:1-13).
Dasar dari Diri dan
Pekerjaan Yesus
Keempat kitab Injil
mencatat beberapa kejadian di mana Yesus menjadi marah, namun Markus adalah
satu-satunya penginjil yang menggambarkan kemarahan Yesus dengan kata
eganaktesen yang berarti panas hati melihat ketidakbenaran. Apa yang
menyebabkan Yesus begitu marah? Karena Yesus melihat anak-anak kecil dihalau
oleh para murid-Nya.
Peristiwa ini dicatat
secara sinoptis dalam Matius 19:13-15, Markus 10:13-16 dan Lukas 18:15-17. Ketiga kitab Injil ini tidak mencatat mengapa
para murid menolak anak-anak itu. Mungkin ini disebabkan karena para murid
beranggapan bahwa Yesus sebaiknya tidak diganggu oleh kehadiran anak-anak. Kita
juga tidak tahu umur berapa anak-anak itu. Markus dan Matius memakai istilah
paidia yang berarti anak laki-laki atau perempuan dari segala usia, sedangkan
Lukas memakai istilah brephe yang berarti bayi. Para penginjil juga tidak
memberitahu siapa yang membawa anak-anak itu; mungkin orang tua mereka, mungkin
juga hanya ayah mereka, sebab pada waktu itu ada kelaziman bahwa ayah membawa
anak kepada rabi terkenal untuk diberkati. Weber mengutip Soferim 18:5 yang berbunyi: "It was a beautiful custom in
Jerusalem to make little children, boys and girls, fast on the Day of Atonement
... and then carry or lead them to the elders for them to bless them...”[5]
Ketiga penginjil
mencatat bahwa para murid memarahi orang yang membawa anak-anak itu. Lalu
timbullah reaksi Yesus yang mengejutkan para murid. Yesus bukan memuji tindakan
para murid, malah memarahi tindakan itu dengan sengit. Seolah-olah Yesus mau
berkata bahwa menghalangi anak-anak datang kepada-Nya adalah sebuah perbuatan
salah yang sangat besar.
Di sini kita melihat
konsep yang tinggi tentang anak. Budaya yang lazim meremehkan anak, namun Yesus
menghargai anak. "Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan
menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya
Kerajaan Allah" (Mrk 10:14).
Ucapan Yesus itu ada
tambahannya dalam Injil Markus dan Lukas, yaitu: "...Barangsiapa tidak
menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke
dalamnya" (ay. 15). Kedua ucapan Yesus ini tampak seperti berpokok tentang
karakteristik anak kecil, misalnya polos, lugu dan bersahaja. Tetapi sebenarnya
di sini Yesus sedang berbicara tentang karakteristik Allah. Allah memberikan
kerajaan-Nya kepada orang yang polos, lugu dan bersahaja, yang sama sekali
tidak mempunyai perasaan sanggup, unggul atau lebih dalam hal kerohanian.[6]
Sebagai lambang
pemberian Kerajaan Allah. Yesus memeluk anak-anak itu. Perikop ini
memperlihatkan kutub-kutub yang bertolak belakang: Yesus marah dan Yesus
memeluk, para murid menghalau tetapi Yesus menyambut, budaya masyarakat
meremehkan anak tetapi Yesus menghargai anak.
Sebuah cerita lain
tentang sikap Yesus terhadap anak terdapat secara sinoptis di Matius 18:1-5; Markus 9:33-37 dan Lukas 9:46-48. Menurut Matius konteksnya adalah suasana
belajar dan mengajar rabinik di mana para murid bertanya siapa yang terbesar
dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan menurut kedua penginjil lainnya konteksnya
adalah perselisihan para murid tentang siapa yang terbesar di antara mereka.
Terhadap persoalan
ini Yesus memberi jawab dengan menempatkan seorang anak kecil di depan para
murid dan berkata: "...Barangsiapa yang merendahkan diri dan menjadi
seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga" (Mat 18:4; bandingkan catatan Lukas yang berbeda dan Markus
yang lebih berbeda lagi).
Di sini Yesus
berbicara tentang kaidah Allah yaitu kebesaran, kedudukan dan kekuasaan. Yang
dinilai besar oleh Allah adalah mereka yang "merendahkan diri dan menjadi
seperti anak kecil." Agaknya di sini Yesus berbicara tentang posisi tidak
berdaya yang ada pada anak kecil. Lalu Yesus mengidentikkan diri dengan orang
yang berposisi tidak berdaya: "Dan barangsiapa menyambut seorang anak
seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku." (ay. 5).
Lalu Yesus
melanjutkan, "Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak
kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan
diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut" (ay. 6). Kata menyesatkan di ayat ini merupakan terjemahan dari
kata Yunani skandaloon yang berarti perangkap, jerat, batu sandungan,
tergelincir atau terjerumus ke dalam hal yang jahat. Di sini Yesus berbicara
tentang perlindungan bagi anak dari manipulasi dan eksploitasi orang dewasa.[7]
Sikap Yesus
menghargai anak dalam dua perikop sinoptis di atas, jangan diartikan bahwa
Yesus mengidealisasikan anak, sebab dalam perikop lain, yaitu Mat 11:16-17 dan Luk 7:31-35 Yesus justru mengumpamakan umat Israel sebagai anak-anak
yang kurang responsif dan kurang kooperatif.
Secara keseluruhan,
dari catatan para penginjil tampak bahwa Yesus bersikap positif dan menilai
anak secara tinggi.
Dasar Dari Sejarah
Gereja
Beberapa pendidik
besar dalam sejarah gereja menunjukkan komitmen bagi pelayanan terhadap anak.
Jean Charlier de
Gerson (1363-1429) adalah teolog yang menjadi rohaniwan di Katedral Notre Dame
dan rektor Universitas Paris. Dalam kesibukannya sebagai seorang teolog, ia
memberi banyak perhatian kepada dunia anak. Di biara Lyon ia mengarang
buku-buku cerita untuk anak dan bahan kurikulum pelajaran agama untuk anak.
Rekan-rekan Gerson bukan memuji perbuatan Gerson, malah mengejeknya. Mereka
berkata bahwa menulis buku cerita anak adalah pekerjaan yang remeh dan
merendahkan derajat seorang teolog. Gerson menangkis kecaman itu dengan berkata
bahwa tidak ada pelayanan kristiani yang lebih tinggi daripada pelayanan kepada
anak.[8]
Johanes Calvin
(1509-1564) dalam rangka membaharui gereja juga menekankan perlunya pelayanan
kepada anak. Menurut Calvin tiap pendeta mempunyai dua macam jemaat, yaitu
jemaat anak-anak dan jemaat orang dewasa. Mendidik kedua jemaat ini adalah sama
penting.[9]
Jan Amos Komensky
atau Comenius (1592-1670) adalah pemimpin gereja Moravia yang dijuluki The
First Modern Educator. Ia mengembangkan banyak teori tentang pendidikan anak.
Ia berdalil bahwa seorang anak dilahirkan belum dalam keadaan sebagai manusia
melainkan dalam keadaan bisa menjadi manusia. Dan untuk itu diperlukan
pendidikan. Ia menulis: "...he gave no bad definition who said that man
was a teachable animal. And indeed it is only by proper education that he can
become a man... Let none believe therefore, that any can really be a man,
unless he have learned to act like one, that is, have been trained in those
elements which constitue a man.”[10]
Robert Raikes
(1735-1811) adalah wartawan di Gloucester, Inggris, yang sering meliput berita
kriminal. Dari pengalaman ini Raikes berpendapat bahwa mendidik orang dewasa
yang sudah menjadi jahat tidak banyak berfaedah. Lebih baik mencegah dari usia
dini. Ketika itu Inggris sedang mengalami revolusi industri di mana banyak anak
bekerja di pabrik. Pada hari Minggu anak-anak berkeluyuran di jalan. Raikes
lalu membuka sekolah pada hari Minggu dengan kurikulum: membaca, menulis,
beribadah dan pengenalan Alkitab.[11]
[1] Andar Ismail adalah dekan program
pascasarjana Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Menempuh studi lanjut di Belanda,
Jepang, Korea dan program doktor selama lima taHun di Virginia, Amerika
Serikat. Membuat penelitian di Rijksuniversitiet Leiden dan di nominasi di
Hebrew University of Jerusalem. Mengarang buku-buku renungan yang disebut
"Seri Selamat" terbitan BPK Gunung Mulia. Bukunya yang terbaru,
"Selamat Panjang Umur - 33 Renungan tentang Hidup."
[2] Hans-Ruedi Weber, Jesus and The
Children-Biblical Resources for Study and Preaching (Geneva: WCC, 1979) 5-8.
Weber mengutip sumber-sumber utama seperti papyrus Oxyrhynchus abad 1 SM,
Institutio Oratorio abad I, Eclogae abad 5.
[3] W. Boyd, History of Western Education (New
York: Barnes & Noble, 1965) 52-61.
[4] I. J. Cairns, Tafsiran Alkitab Ulangan 2
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986) 142.
[5] Weber, Jesus and The Children-Biblical, 15.
[6] Diuraikan dalam bentuk renungan "Siapa
yang Masuk Kerajaan Allah?" di Andar Ismail, Selamat Mengikut Dia.
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994) 80-83.
[7] Dewasa ini yang dapat disebut skandaloon
terhadap anak adalah misalnya memanfaatkan anak kecil sebagai pangsa pasar
iklan atau sebagai tokoh iklan, penggunaan anak kecil dalam show-biz yang
mencabut anak dari dunianya, banjirnya budaya tonton yang menghambat daya
imajinasi dan daya baca anak, pengadaan tontonan dan bacaan yang tidak kondusif
untuk pertumbuhan kepribadian anak, cara mendidik yang keliru, indoktrinasi
fanatisme agama, kurikulum sekolah yang keliru, penggunaan anak sebagai buruh
sektor formal tanpa memperhatikan kebutuhan jiwa anak, penculikan, pemerasan,
dan sebagainya.
[8] Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan
Pemikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1991) 245-251 dan Kendig Brubacher Cully, Basic Writing in Christian Education
(Philadelphia: Wesminster, 1960) 122-126.
[9] Boehlke, Sejarah Perkembangan, 415 dan Elmer
Towns, A History of Religious Educators (Grand Rapids: Baker, 1975) 167-174.
[10] Towns, A History, 176-188.
[11] J. Donald Butler, Religious Education (New
York: Harper & Row, 1962) 53
Tidak ada komentar:
Posting Komentar