Sejalan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi dewasa ini, khususnya dalam bidang informasi dan komunikasi,
telah menjadikan dunia ini terasa semakin menjadi sempit dan transparan. Antara
satu belahan dunia dengan belahan dunia lainnya dengan mudah dapat dijangkau
dan dilihat dalam waktu yang relatif singkat. Itulah globalisasi, yang di
dalamnya membawa berbagai implikasi yang luas dan kompleks bagi kehidupan
manusia. Implikasi nyata dari adanya globalisasi adalah terjadinya perpacuan
manusia yang mengglobal. Seorang individu dalam berkarya tidak hanya dituntut
untuk mampu berkiprah dan berkompetisi sebatas tingkat lokal dan nasional
semata, namun lebih jauh harus dapat menjangkau sampai pada tingkat kompetisi
global, yang memang di dalamnya berisi sejumlah tantangan dan peluang yang
begitu ketat.
Pada saat yang bersamaan, kita pun
saat ini sedang dihadapkan dengan era otonomi daerah, yaitu sebuah paradigma
baru dari sistem pemerintahan, yang semula bersifat otoriter-sentralistik
menuju ke arah demokratik-desentralistik. Sebagai paradigma baru, tentunya akan
mempunyai implikasi yang sangat luas pula terhadap tatanan kehidupan. Berbagai
persoalan akan muncul, baik yang bersifat tantangan maupun hambatan. Dengan
kewenangan yang luas, daerah seyogyanya lebih mampu untuk memberdayakan diri
dan memacu partisipasi masyarakatnya dalam berbagai kegiatan pembangunan,
sehingga pada gilirannya benar-benar akan dapat terwujud berbagai kemajuan yang
signifikan.
Dari sini timbul pertanyaan,
bagaimanakah agar kita benar-benar dapat survive dan eksis guna menghadapi
kedua tantangan zaman tersebut. Tak lain jawabannya, kualitas sumber daya
manusia! Faktor kualitas sumber daya manusia menjadi amat penting karena hanya
dengan sentuhan manusia-manusia yang memiliki kemampuan intelektual tinggi,
keterampilan yang handal dan sikap moral yang tinggi, maka berbagai persoalan
yang muncul sebagai konsekwensi logis dari adanya era globalisasi dan era
otononomi daerah sangat diyakini akan bisa terjawab. Oleh karena itu, gerakan
usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia hendaknya menjadi komitmen
seluruh komponen bangsa. Melalui usaha meningkatkan kualitas sumber daya
manusia diharapkan dapat tercipta manusia-manusia yang dapat diandalkan untuk
menjadi motor penggerak pembangunan di daerah. Sekaligus pula, dapat diandalkan
untuk mampu berkiprah dalam percaturan global.
Pada kenyataaannya, memang harus
diakui bahwa saat ini tingkat kualitas sumber daya manusia Indonesia sangat
mengkhawatirkan, jangankan untuk bersaing pada tingkat global, untuk tingkat
regional ASEAN saja, kita berada pada posisi di bawah Vietnam, yakni sebuah
negara yang beberapa tahun lalu berkecamuk dilanda perang saudara. Namun,
dengan dukungan political will yang kuat dari pemerintah setempat untuk
mengkampanyekan pentingnya pendidikan, dengan mengangkat tema sentral posisi
guru sebagai kunci utama keberhasilan peningkatan sumber daya manusia, maka
dalam waktu yang relatif singkat, saat ini Vietnam telah berhasil mengangkat
posisi kualitas sumber daya manusianya di atas kita.
Rasanya tak perlu malu, kalau kita
belajar menimba pengalaman dari keberhasilan Vietnam dalam membangun sumber
daya manusianya, yakni dengan berusaha menempatkan pendidikan sebagai prioritas
utama pembangunan, dengan tema sentral yang sama yakni guru sebagai kunci utama
keberhasilan peningkatan sumber daya manusia. Memang, berdasarkan hasil studi
di negara-negara berkembang telah membuktikan bahwa guru memberikan kontribusi
tertinggi dalam pencapaian prestasi belajar (36%), kemudian disusul manajemen
(23%), waktu belajar (22%), dan sarana fisik (19%), sebagaimana disampaikan
oleh Dirjen Dikdasmen pada acara Dies Natalis XVI Universitas Terbuka.
Suka atau tidak suka, memang harus
diakui bahwa semasa rezim orde baru yang otoriter dan sentralistik itu telah
menempatkan profesi guru berada pada posisi yang termarjinalkan dari
keseluruhan sistem pembangunan. Akibatnya, dalam pengelolaan dan pengembangan
proses pembelajaran seringkali guru menjadi miskin kreativitas, karena selalu
dicekoki oleh berbagai aturan yang sangat mengikat dan kaku. Kebebasan
mengaktulisasikan diri untuk menjadi seorang profesional terhambat dan guru
hanya berperan sebagai tenaga juru belaka, yang bertugas menyampaikan apa yang
telah disajikan dari pusat dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
teknis, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai pada tahap evaluasi
sekali pun.
Terlebih lagi dengan adanya
kewajiban untuk memenuhi target-target materi kurikulum tertentu yang
seringkali menimbulkan rasa stress, baik guru maupun siswa. Demi mengejar
target materi, seringkali terjadi pemaksaan penjejalan materi kepada siswa.
Mengerti atau tidak mengerti apa yang telah disampaikan guru, menjadi urusan
belakangan. Beban lain yang harus ditanggung guru yaitu menyangkut kewajiban
membuat berbagai perangkat administrasi yang sudah terpolakan secara baku dan
bermacam-macam jenisnya. Bahkan ada persepsi bahwa guru yang baik adalah yang
memiliki administrasi lengkap. Dari sini timbul sikap pragmatis, yang penting
administrasi bagus, meskipun pada kenyataannya, antara yang tertulis dalam
administrasi dengan pelaksanaan, sesungguhnya sangat bertolak belakang.
Hal yang mendasar dan menjadi
persoalan utama guru adalah menyangkut kesejahteraannya. Tunjangan fungsional
yang diskriminatif dibandingkan dengan profesi lain telah menimbulkan rasa
cemburu di kalangan guru. Selain itu, berbagai kasus pemotongan gaji untuk kepentingan
yang tidak masuk akal seringkali terjadi. Begitu juga, prosedur kenaikan
pangkat yang berbelit-belit dan selalu berakhir dengan pungutan-pungutan yang
tidak jelas juntrungnya, kiranya semakin melengkapi rasa frustrasi guru.
Akumulasi berbagai persoalan yang
dihadapi guru berdampak luas terhadap melemahnya kinerja guru. Guru
melaksanakan tugas semata-mata sebagai rutinitas, tanpa disertai proses kreatif
dan inovatif. Sudah bisa hadir di kelas pun di anggap cukup. Sekali-kali tidak
masuk kelas dan hanya diwakili oleh tugas yang harus dikerjakan siswa, masih
dianggapnya wajar. Pemberian evaluasi kepada siswa berjalan seadanya, manakala
hasil ulangan jeblok pun, tidak perlu lagi usaha untuk meneliti kenapa terjadi
kegagalan, apalagi berusaha mencari pengentasannya. Bahkan berdampak pula
terhadap relasi antara guru dengan siswa yang terasa senjang. Guru tidak peduli
lagi apa yang terjadi dengan siswa, baik tentang kondisi fisik, kesehatan,
kesulitan, kebutuhan, minat, perasaan, kemampuan maupun harapan-harapannya.
Yang jelas, kalau ada siswa yang tidak hadir atau ngantuk di kelas tetap akan
dianggap sebagai tindakan indisipliner yang perlu diberi sanksi.
Hubungan antara guru dan siswa yang
humanis berjalan mandeg. Tidak terbangun lagi rasa saling asah, saling asih dan
saling asuh. Oleh karenanya tidak aneh kalau banyak ditemukan siswa yang sama
sekali tidak lagi memberikan rasa hormat terhadap gurunya sendiri. Karena
keduanya sama-sama untuk mengambil sikap masa bodoh. Siswa lebih asyik mencari
kompensasi dalam bentuk tawuran atau narkoba, dan tindakan kenakalan remaja
lainnya, karena memang mereka sedang diliputi rasa frustasi yang mendalam
akibat dari kegagalan dan tak terpenuhinya berbagai kebutuhan psikisnya.
Harapan untuk menemukan jati diri, mendapatkan keterampilan, memperoleh
pengetahuan dan membangun kehidupan sama sekali tidak didapatkannya.
Fenomena yang mencerminkan carut
marutnya wajah pendidikan kita dan keterpurukan guru semacam itu harus ditebus
mahal dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia seperti sekarang ini, yang
tentunya semua itu harus segera berakhir, jika kita semua ingin menjadi bangsa
yang terhormat, sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang sudah lebih dulu maju.
Sejalan dengan hadirnya gerakan
reformasi di tengah-tengan kehidupan kita, maka perubahan yang mendasar dalam
penyelenggaraan sistem pendidikan harus dilakukan, termasuk di dalamnya usaha
untuk menempatkan guru sebagai kunci utama keberhasilan pendidikan. Seyogyanya
guru diberikan otonomi yang lebih luas dalam melaksanakan berbagai tugas,
fungsi dan kewajibannya, sehingga tidak lagi harus terpaku pada pola-pola yang
dibakukan, seperti berbagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang
menyebabkan kreativitas guru menjadi terpasung. Guru harus didorong berbuat
lebih kreatif dan inovatif untuk menemukan sendiri berbagai metode dan cara
baru yang paling sesuai dan tepat dalam proses pembelajaran, yang ditujukan
demi keberhasilan para siswanya.
Begitu juga, bobot penilaian dan
penghargaan kepada guru hendaknya ditekankan pada hal-hal lebih esensial dan
subtansial yaitu sejauhmana guru dapat melaksanakan proses pembelajaran secara
efektif dan sejauhmana guru dapat mengembangkan pola interaksi belajar yang
kondusif. Jadi, bukan hanya sekedar dilihat dari segi kemampuan administratif
semata. Berbagai bentuk ganjalan yang berkaitan dengan kesejahteraan guru hanya
bisa dilakukan melalui komitmen dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah, untuk menempatkan guru sebagai profesi yang berhak
mendapatkan penghargaan dan balas jasa yang layak. Pemberian tunjangan tidak
dilakukan secara diskriminatif lagi, sehingga tidak terjadi lagi berbagai
kesenjangan yang lebar, baik antara guru dengan guru itu sendiri, guru dengan
dosen, maupun guru dengan profesi lainnya.
Berbagai bentuk pemerasan terhadap
guru, dengan dalih apa pun tidak bisa dibenarkan lagi dan harus segera
dihentikan. Birokrat yang masih bermental korup sudah waktunya untuk tidak
diberi tempat lagi, karena bagaimana pun, guru saat ini sudah sanggup
menunjukkan sikap kritis dan keberaniannya untuk mengambil sikap yang terbaik
bagi dirinya.
Akhirnya, sejalan dengan upaya
pemberdayaan guru, baik dari segi kinerja maupun kesejahteraannya, maka harapan
untuk terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas akan menjadi menjadi
kenyataan, yang pada gilirannya nanti akan terbentuk manusia-manusia yang
sanggup menjadi pelopor pembangunan di daerahnya masing-masing, dengan memiliki
dan wawasan sanggup berkiprah secara global.
Daftar Pustaka
- Ahmad Tafsir, Dr., (1992), Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya.
- Ali Saifullah HA, Drs., (1981), Antara Filsafat dan Pendidikan : Pengantar Filsafat Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional.
- Andreas Harefa., (2000), Menjadi Manusia Pembelajar, Jakarta : PT.Kompas.
- Hasan Langgulung, Prof., Dr., (1986), Manusia dan Pendidikan : Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta : Pustaka Al-Husna.
- Idochi Anwar, Prof.,Dr., & Yayat Hidayat Amir, Drs., M.Pd., (2000), Administrasi Pendidikan : Teori, Konsep & Issue, Bandung : Program Pasca Sarjana UPI Bandung.
- Ismaun, Prof.,Dr., (2001), Filsafat Ilmu : Diktat Kuliah Bandung : Program Pasca Sarjana UPI Bandung.
- John Vaizey (1987), Pendidikan di Dunia Modern, Jakarta : Gunung Agung.
- Sardjan Kadir, Drs. & Umar Ma’sum, Drs., (1982), Pendidikan di Negara Sedang Berkembang, Surabaya : Usaha Nasional.
Diadopsi dari Tulisan Hairuddin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar