Penulis: Guno Tri Tjahjoko635
Memasuki
PJP II, sosok mahasiswa mendapat perhatian khusus, mengingat
pembangunan nasional bangsa Indonesia memberi konotasi pada peningkatan
kualitas sumber daya manusia628.
Mahasiswa adalah harapan bangsa, dan di pundak merekalah masa depan
bangsa ini akan dipertaruhkan. Maka mahasiswa sering "diagungkan" dan
sekaligus "diharapkan" oleh orang tua dan calon mertua. Seolah-olah
mahasiswa adalah sekelompok masyarakat elite, yang 'asing' bagi
masyarakat. Dengan demikian posisi menjadi mahasiswa, identik dengan
"gengsi" bagi sekelompok orang.
Di tengah-tengah pemerintah mencanangkan tahun pemuda, muncul
pertanyaan: mahasiswa obyek atau subyek? Kalau mahasiswa obyek
pembangunan, maka perubahan masyarakat (positif) tidak akan terjadi,
karena daya kritis, rasional, kreatif, inovatif dan idealis seolah
"ditiadakan". Mahasiswa sebagai "obyek" berarti hanya membicarakan
mahasiswa, tanpa dialog dan mengikutsertakan mereka dalam pengambilan
keputusan. Sebaliknya, menjadikan mahasiswa sebagai subyek pembangunan
berarti menerima dan menghargai mereka sebagai "aset negara", dan
sumbangsih mahasiswa berharga untuk pembangunan dan sosial.
Pilihan menjadikan "mahasiswa subyek" pembangunan dan perubahan
sosial, agaknya "mustahil" kalau mensitir gagasan Drs. M. Achmad Icksan
dan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional. Bila pilihan nomor satu,
di mana mahasiswa hanya sebagai 'obyek' pembangunan dan perubahan
sosial, maka mahasiswa akan bergerak 'di luar rel' karena aspirasi dan
idealisme mereka 'belum' terwadahi. Gerakan-gerakan mahasiswa yang
terjadi akhir-akhir ini merupakan dampak dari belum terwadahinya
aspirasi dan idealisme mahasiswa. Hal ini didukung dengan sistem
pendidikan yang seolah "terlepas" dari sistem kemasyarakatan.629 Ini merupakan dampak dari kebijakan yang diterapkan pemerintah, khususnya dalam bidang pendidikan kemasyarakatan.
Mahasiswa seolah di indoktrinasi dengan 'paket-paket' tertentu, dan
mahasiswa tidak boleh tawar-menawar dengan 'paket-paket' tersebut.
Tentunya kita maklum bahwa demi menjaga stabilitas nasional, maka
unsur-unsur yang rawan perlu di rekayasa sedemikian rupa, sehingga
negara tidak mengalami suasana khaos. Memang masyarakat kita pada
umumnya belum siap berbeda pendapat dan menghadapi perubahan-perubahan
yang drastis. Selain itu, sejarah telah mengukir momen-momen yang
membahayakan sendi-sendi kesatuan bangsa dan itu sebabnya kesatuan
bangsa perlu terus-menerus dijaga. Stabilitas nasional, Pancasila dan
UUD 1945 perlu lata lestarikan, maka hendaknya mahasiswa dalam melakukan
kegiatan tidak keluar dari hal tersebut. Mahasiswa hendaknya mengetahui
"framework" dalam berkiprah dan apresiasi terhadap bangsa dan
masyarakatnya.
Di tengah pergumulan bangsa dan perubahan sosial, mahasiswa dengan
nalar yang kritis dan kreatif, ditantang untuk memberi jawaban. Dengan
kekuatan mahasiswa sendiri, mustahil pekerjaan 'raksasa' ini akan
tuntas. Benar, mahasiswa adalah agen pembaharu dan potensi yang siap
"meledakkan" hambatan apapun. Namun sejarah juga mencatat bahwa mereka
sering "di rekayasa" untuk kepentingan tertentu.630
Pendidikan tidak menjamin mereka bisa mengatasi semua pergumulan dan
perubahan sosial, tanpa peran aktif mahasiswa untuk mencari dan
memecahkan masalah. Pendidikan yang bertendensi menjadikan mahasiswa
"membeo", seolah kreatifitas dan kekritisan dipasung. Pendidikan juga
yang seolah menjadikan bertumpuknya sarjana-sarjana yang menganggur.
Pendidikan tidak menjanjikan perubahan sosial, paling hanya sebatas KKN,
dengan pembangunan fisik dan non fisik di desa.
Kalau mahasiswa tidak menemukan "pijakan" di luar, mestinya agama631
memberikan jalan keluar. Sejarah mencatat bahwa agama merupakan
kekuatan potensial, bagi perubahan budaya dan masyarakat. Agama sering
diidentikkan sebagai kekuatan pembebas yang mensejahterakan umat dari
penderitaan dan kungkungan. Apakah mahasiswa menemukan "pembebasan" dari
agama? Apakah agama memberi jalan keluar terhadap permasalahan
mahasiswa? Ini pekerjaan rumah kita, yang tidak mungkin dijawab dengan
singkat, perlu introspeksi dan keterbukaan. Pekerjaan rumah kita ini
juga merupakan perjuangan kita bersama, agar generasi muda lebih
berkualitas dalam segala hal dan takut Tuhan.
Yang dimaksud mahasiswa menurut saya adalah mereka yang sudah di
perguruan tinggi atau akademi, biasanya mereka berumur sekitar 19-24
tahun. Saya pribadi lebih setuju membicarakan mahasiswa dari sisi
mahasiswa sendiri, bukan sebagai guru atau pembina. Cara pikir ini
bertujuan agar kita mendekatkan diri, dan mengetahui lebih dalam
mahasiswa dengan segala pergumulannya. Dengan kata lain, saya
berpendapat bahwa mahasiswa sebagai subyek dalam pembangunan dan
perubahan sosial.
Esensi mahasiswa Kristen ialah imannya632
kepada Kristus. Bila mahasiswa Kristen diperhadapkan dengan perubahan
sosial, apakah ini berarti iman mahasiswa juga berubah (?). Bila saya
memaparkan sisi iman mahasiswa, ini berarti saya berasumsi'subyektif,
karena iman sifatnya pribadi sekali (subyektif). Romo Y.B. Mangunwijaya
menyebutnya dengan istilah Religiositas, sikap iman, harapan dan cinta
kepada Yesus Kristus, yang dihayati sampai ke inti lubuk batin.
Reliogiositas tersebut terungkap nyata dalam amal, kerja yang Was
mengikuti teladan Kristus. Iman tanpa perbuatan adalah mati (Yak. 1:19-27),
iman memerlukan orientasi untuk pengungkapan. Pengungkapan iman kita
ialah dalam wadah negara dan bangsa kita, yang membutuhkan sumbangsih
konkret.
Iman yang benar, akan menghasilkan buah yang benar pula di
masyarakat. Buah yang benar di dalam masyarakat tersebut merupakan
integritas, yang harusnya juga ada pada mahasiswa. Integritas yang saya
maksud ialah pribadi, orang lain, masyarakat dan dunia. Bila kita
beriman kepada Yesus Kristus, maka kita harus mengasihi diri, orang
lain, masyarakat dan dunia (Mat 22:38-40).
Kasih Allah tidak diskriminatif, tetapi dinamis dan universal. Kasih
Allah yang kita respon, diwujudkan dengan iman dan harus mewujud nyata
dalam segala aspek hidup kita. Ukuran kasih kita kepada Allah menjadi
tolok ukur kita untuk mengasihi sesama.
James Fowler mengungkapkan bahwa iman tak dapat diturunkan dari atau
didasarkan pada moral. Fowler mengadakan studi tentang iman, dan
memilah-milah berdasar usia dan tahapan. Dalam konteks pembicaraan kita,
mahasiswa menurut Fowler sampai pada tahap Individuative - Reflective633.
Pada tahap ini, seorang mahasiswa memahami iman secara personal,
konstan dan koheren. Mahasiswa mulai mempertanyakan iman dan pencarian
kritis kebenaran, yang masuk akal, logis dan rasional. Pada tahap ini
mahasiswa dituntut bertanggung jawab atas hidup, iman, gaya hidup,
masyarakat, dan lain-lain. Pada tahap ini, mahasiswa amat membutuhkan
orientasi "kerohanian dan ideologi" yang benar dan mendasar. Menurut
Fowler, mahasiswa diperhadapkan dengan perubahan sosial, politik dan
ekonomi, yang menuntut daripadanya. Orientasi kemasyarakatan diperlukan
mahasiswa juga dalam kaitannya dengan "perelativan iman Kristen".
Orientasi kerohanian (spiritual), ideologi dan kemasyarakatan
memunculkan iman yang mandiri. Iman itu sendiri merupakan "instrumen"
yang dipakai Allah untuk menjelaskan rencana dan maksud Allah, di dunia
ini. Ini yang saya pahami sebagai penyataan, yang sifatnya normatif.
Oleh karena iman berasal dari Allah dan merupakan karunia Allah, maka
secara esensi mahasiswa "tidak memilikinya". Mahasiswa memang memiliki
"sense (cita rasa) religious", tetapi hal ini belum tentu berarti sang
mahasiswa beriman dengan benar.
Iman hanya dipahami sebatas "percaya tanpa melihat", dan hal ini bagi
saya terlalu sempit. Iman Kristen menurut pemahaman saya memiliki
cakupan yang luas. Memang iman tak dapat dilihat dengan mata kita secara
lahiriah. Iman bersangkut paut dengan "mempercayakan diri secara total,
mengerti kebenaran, komitmen, kemurnian dan kesetiaan, tindakan, dan
lain-lain." Sedangkan pemahaman iman pada masa kini bertendensi
pengkotakan ke suatu agama tertentu. Secara Alkitabiah, Yesus Kristus
mati bagi semua umat manusia yang percaya (Bnd. Yoh 3:16).
Yesus Kristus secara de facto adalah orang Yahudi, yang secara lahiriah
kita belum mengenal dan bertemu. Justru iman dalam hal ini berfungsi
sebagai media atau instrumen, yang digunakan Allah, untuk kita
mempercayai dan meyakiniNya.
Dalam hal beriman memang kita "eksklusif", namun ini bukan berarti
kita tidak mau tahu dengan dunia sekitar. Pemahaman "eksklusif" yang
saya maksud ialah iman membutuhkan respon pribadi; dan sang mahasiswa
yang meresponi penyataan Allah tersebut bersifat subyektif. Dari
pemahaman yang subyektif inilah saya kira iman berkonotasi "eksklusif",
tidak kompromi dan tidak perlu ditawar-tawar lagi. Itu sebabnya iman
yang benar tidak mengenal perelativan, seperti yang terjadi dalam dunia
nyata, yang terus berubah.
Hal ini bisa dipahami dengan sederhana, karena iman berasal dan
bermuara dari Allah, yang kekal dan tidak berubah. Berdasarkan asumsi
ini, bila mahasiswa dibekali dan di bina dengan iman yang mendasar, maka
sang mahasiswa akan tegar dalam pertumbuhan dan menghadapi perubahan
sosial. Selain eksklusif dari segi respon, iman juga inklusif dari sisi
perwujudan dan orientasi. Iman yang benar senantiasa berkaitan dengan
penghayatan dan pengamalan iman tersebut dalam bergereja, bermasyarakat
dan bernegara. Ini yang saya maksud dengan inklusif dalam perwujudan dan
orientasi. Iman kepada Yesus, yang berakibat kita diselamatkan,
berkaitan dengan tanggung jawab sosial kita di tengah masyarakat yang
pluralistis.
Menumbuhkembangkan iman mahasiswa secara sehat dan benar, membutuhkan
usaha keras kita dan inisiatif mahasiswa sendiri. Dari pihak mahasiswa
perlu kesadaran bertumbuh imannya, dan usaha untuk "memelihara" secara
konsisten, dengan disiplin yang ketat. Ternyata iman sang mahasiswa
bukan hanya "diterima" begitu saja, tetapi perlu dijaga dengan disiplin.
Bukan maksud saya untuk melegalitaskan iman, yang kemudian "dipasung"
ke dalam tata ibadah atau aturan-aturan kaku.
Iman mahasiswa yang sehat dan benar berdampak pada moralitas
mahasiswa. Jadi benar yang diasumsikan Fowler bahwa iman tidak
didasarkan pada moralitas an sich, tetapi moralitas yang diyakini
mahasiswa juga dipengaruhi oleh lingkungan. Memang iman berkaitan dengan
moral, sebagai wujud orientasi di dunia ini. Jadi iman mahasiswa ada
hubungannya dengan perilaku dan tata krama sehari-hari.
Oleh karena iman mahasiswa sifatnya subyektif (pribadi), maka
mahasiswa perlu mengalami pengalaman pribadi dengan Allah. Pengalaman
pribadi ini tidak hanya pada level kognitif saja, tetapi lebih dalam
adalah afektif. Pengalaman emosional bersama Tuhan setiap hari perlu
mendapat konotasi. Sang mahasiswa perlu membiasakan dialog dengan
Tuhannya setiap hari. Dialog dengan Tuhan, dapat diwujudkan dengan doa,
reflektif, saat teduh, pemahaman Alkitab induktif/deduktif, dan
lain-lain. Mahasiswa bukan hanya sekedar mengerti tentang Allah, tetapi
harus mengalami pertemuan dan sapaan Allah setiap hari. Dialog yang
mesra setiap hari dengan Allah inilah, yang memungkinkan mahasiswa
"survive", menghadapi persaingan dan perubahan sosial. Keseimbangan
pengalaman mahasiswa dalam beriman dan berkarya di dunia ini akan
menentukan masa depan mahasiswa, gereja dan bangsa.
Pemahaman iman yang telah dikemukakan tersebut di atas memerlukan "learning"634,
bukan hanya "schooling". Dengan pola "schooling" (pendidikan melalui
sekolah) saja tidak cukup, mahasiswa perlu lebih dari itu. Pengalaman
konkret dengan situasi-situasi yang baru, merupakan tantangan bagi
mahasiswa. Kenyataan-kenyataan yang terus berubah, dengan segala
dampaknya membutuhkan sikap dan metode baru, untuk mengantisipasinya.
Mahasiswa yang dikondisikan dengan "learning" (pendidikan ke arah
mengerti kehidupan nyata), akan menolong mahasiswa untuk dapat mensikapi
perubahan sosial.
Seperti halnya iman yang bersifat eksklusif dan inklusif, maka dalam
menghadapi kenyataan perubahan sosial tersebut, proses learning menjadi
jawaban atas kebutuhan masyarakat. Seperti halnya Arief Budiman
berasumsi bahwa pendidikan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, maka
pendidikan yang kontekstual dalam menghadapi perubahan sosial adalah
pendidikan yang menekankan inisiative student dan memberikan tanggung
jawab penuh kepada mahasiswa, untuk berperan dan mencari solusi.
J.B Banawiratma, S.J berpendapat bahwa dalam konteks hidup beriman,
yang ditandai dengan kemiskinan dan ketidakadilan, karya nyata lembaga
pendidikan tidak bisa bersikap netral. Bersikap netral berarti tidak
mendukung perubahan sosial yang positif, dan itu berarti memihak yang
kuat,dan merugikan yang lemah. Kalau kita kaji lebih dalam ternyata
perubahan sosial bisa berdampak positif, dan tidak selalu berdampak
negatif. Lebih jauh Banawiratma setuju dengan J. Muller bahwa
kecenderungan pendidikan justru "melestarikan kemelaratan", karena belum
menanggapi kepentingan dan kebutuhan rakyat banyak.
Menurut Statistik Indonesia 1992, penduduk yang berusia 19-21 tahun
berjumlah 2.831.535 jiwa, yang terdiri dari pria berjumlah 1.638.882 dan
wanita 1.192.653. Dengan asumsi bahwa mereka yang berusia 19-24 tahun
ini duduk di Akademi, Institut atau Perguruan Tinggi, maka bisa kita
bandingkan ternyata yang kuliah hanya 1.503.196 jiwa. Jadi ada 1.328.339
jiwa yang tidak kuliah, ini berarti hampir imbang. Secara faktual
pendidikan sekarang bertendensi komersial, dan bagaikan menggapai bulan
bagi rakyat banyak.
Dalam konteks perubahan sosial (positif) dengan segala
permasalahannya, mahasiswa perlu diberi orientasi kepedulian sosial,
ketrampilan analisis sosial, agar mahasiswa dekat dengan rakyat banyak
(Bnd. Banawicatma, [man, Pendidikan dan Perubahan Sosial, 1991:74).
Mahasiswa perlu dekat dengan rakyat (masyarakat), memahami pergumulan
mereka dan mencari solusi.
Konsekuensi dari mendapatkan ketrampilan analisis sosial sang
mahasiswa perlu memahami analisis sosio politis dan sosio ekonomis.
Analisis sosio politis membukakan wawasan kepada mahasiswa tentang siapa
yang 'berkuasa' dan mampu mengambil keputusan, yang pada gilirannya
akan berdampak pada mahasiswa. Analisis sosio ekonomis memaparkan
tentang kondisi ekonomi secara global, dan pihak mana yang tertindas
yang harus diperjuangkan, agar lepas dari penderitaan. Analisis
struktural, memaparkan aspirasi nilai-nilai budaya yang berkembang dan
bagaimana budaya Indonesia mengantisipasi dan mengadaptasi. Apakah
budaya yang masuk masyarakat tersebut merugikan rakyat dan bagaimana
iman Kristen menjawabnya (?). Analisis historis, memaparkan situasi yang
sudah, sedang dan akan terjadi di dalam masyarakat, sehingga mahasiswa
mampu menganalisa dengan tepat dan akurat, kemudian memberikan solusi,
baik berupa konsep, statement atau karya konkret terjun ke masyarakat.
Karena konsep learning dan inisiative student sesuai dengan konsep
iman yang telah dijelaskan di atas, maka sebenarnya secara konsep dan
fakta Kekristenan siap menjawab tantangan perubahan sosial. Dalam
sejarah gereja, Luther dan Calvin telah mewariskan konsep yang sangat
berharga, di mana Luther memperluas asumsi tentang panggilan (Beruf).
Panggilan menurut Luther, bukan hanya secara spiritual menjadi rahib
atau pendeta saja, tetapi panggilan bisa melalui profesi sesuai bidang
masing-masing. Dengan perluasan makna ini Luther telah membuka pintu
bagi pemahaman realitas sebagai sesuatu yang integral, bukan dualistik
(E.G. Singgih, Reformasi dan Transformasi sosial, namun kenyataannya
sampai sejauh mana?).
Pandangan Luther tersebut disebut dengan integritas yang toleran.
Calvin sama seperti Luther, mengembangkan makna panggilan secara luas.
Calvin menerapkan prinsip hidup kudus, kemuliaan Tuhan dan kepatuhan
manusia pada Tuhan. Bagi Calvin, masyarakat yang ideal adalah masyarakat
yang teokratis. Asumsi Calvin ini disebut dengan Integritas yang
intoleran. Doktrin Calvin ini disinyalir mempengaruhi perkembangan
"Kebebasan", sedangkan doktrin Luther yang dalam praktek diwarnai
kebebasan dan toleransi, ternyata dalam perkembangannya menghasilkan
despotisme. Kedua bapa reformasi tersebut telah mengajarkan kepada kita,
bagaimana seharusnya hidup dalam masyarakat plural dan berkembang.
Sikap toleran dan intoleran bukan suatu tawaran untuk mahasiswa memilih
salah satunya. Lebih dari itu dinamika antara toleran dan intoleran ini
harus kita amalkan. Kebebasan yang bagaimana yang dimaksud? Kekakuan
sebagai anti kebebasan seolah tidak diperlukan mahasiswa, tapi justru
"Kekakuan" dalam hal prinsip akan menolong mahasiswa.
Hidup dalam masyarakat pluralistik dan perubahan sosial, memerlukan
keduanya: toleran dan intoleran. Kita perlu menolong mahasiswa untuk
berperan secara dinamis di antara kedua kutub tersebut.
"Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu" (Mazmur 119:9).
Yesus berkata kepada mereka "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya
segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang
paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku". (Matius 25:45).
"The call goes forth, and is at once followed by the response of
obedience, The response of the disciples is an act of obedience, not a
confession of faith in Jesus" (Bonhoeffer).
Sumber : Jurnal Pelita Zaman Volume 10 No. 1 Tahun 1995 pada http://alkitab.sabda.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar