Bab 1. Petualangan Dialogisku
Tugas seorang teolog Kristen – yaitu
upaya membantu umat menengahi masalah hubungan antara tradisi Kristen dan
budaya (-budaya) – sangat dipengaruhi oleh masyarakat maupun berbagai peristiwa
dalam hidupnya. Kalau dilihat ke beberapa dekade lalu, kelihatannya ada dua
Yang Lain yang utama yang telah mempengaruhi hidup dan teologi saya: yang
religius dan yang menderita.
Sampai permulaan tahun 80-an, yang
paling penting dalam kehidupan sosial maupun teologi saya adalah mereka yang
religius yang berasal dari agama-agama lain. Kemudian perjalanan dunia dan
berbagai pengalaman pribadi membawa saya ke dalam suatu dunia atau lingkungan
orang lain yang berbeda dan lebih luas masuk ke dalam kehidupan saya, yang
mewakili begitu banyak manusia di seluruh dunia yang mengalami penderitaan
secara tidak adil yang sebenarnya tidak usah terjadi. Kini saya memahami dan
merasa bahwa penderitaan bukan hanya dialami oleh manusia tetapi semua makhluk
yang mempunyai perasaan, termasuk bumi kita. Jadi, berbagai rekan maupun peristiwa
dalam hidup saya telah membawa, terkadang memikat saya ke dalam apa yang bagi
saya menjadi kewajiban moral untuk menerima “pluralisme dan pembebasan”, atau
“dialog dan tanggungjawab global”. Tujuan buku ini adalah untuk mendorong suatu
dialog antar-agama yang pluralistik dan membebaskan. Pendekatan yang saya
teliti ini saya sebut sebagai dialog yang korelasional dan bertanggungjawab
secara global di antara berbagai agama. Agar dialog korelasional itu dapat
berlangsung, perjumpaan dialogis harus dilakukan dalam suatu komunitas yang
egaliter, bukan hierarkis.
Bab 2. Berbicara tentang Masalah
Sebenarnya
Ada dua model yang dewasa ini muncul
mengenai sikap terhadap agama-agama, yakni eksklusivisme dan inklusivisme.
Masalah dalam eksklusivisme adalah pengakuan terhadap kebenaran atau kuasa
penyelamatan dari agama atau tokoh agama lain merupakan suatu tamparan terhadap
muka Allah; suatu pencemaran terhadap apa yang telah dilakukan Allah dalam
Yesus. Sedangkan masalah dalam inklusivisme, Kristus bagi umat Kristen –
kebenaran yang meyakinkan itu yang dengannya mereka hidup dan norma penuntun
yang dengannya mereka masuk ke dalam arena kebenaran-kebenaran lainnya.
Menghilangkan klaim kebenaran yang normatif, menentukan dan final, berarti
menggerogoti dialog dari otot-ototnya dan menggantikannya dengan suasana panas
yang merusak.
Unsur-unsur penting dalam model yang
korelasional dan bertanggungjawab secara global adalah pemahaman tentang
agama-agama lain, pemahaman tentang keunikan Kristus, serta pemahaman atas dasar
dan tujuan dialog. Untuk suatu model dialog antar-agama yang pluralis dan
korelasional, harus mengakui kemungkinan adanya nilai dari agama-agama lain
selain agama Kristen. Sementara itu, tentang keunikan Kristus, kristologi
pluralis tidak pernah mempermasalahkan apakah Yesus itu unik, namun hanya
bagaimana. Dasar dan tujuan dialog adalah pluralistik dan bertanggungjawab
secara global. Dialog antar-agama yang bertanggungjawab secara global berusaha
menggambarkan kesempatan yang melekat dalam kebutuhan dari suatu pengalaman.
Bab 3. Berbagai Masalah dan Kesulitan
Dari perspektif pascamodern yang pilar
utamanya terletak pada dominasi kepelbagaian, ada berbagai peringatan (kritik)
yang muncul. Pertama-tama adalah bahaya bergesernya sikap pluralis menjadi imperialis.
Hal ini akan terjadi jika mereka terlalu cepat mensyaratkan atau menggambarkan
dasar bersama yang membentuk kesatuan diantara berbagai agama dan terlalu
mudahnya membuat pedoman bersama bagi dialog antar-agama. Peringatan tersebut
menjadi serius karena mereka yang menganut pendekatan pluralis terhadap agama
tidak melihat betapa beragam agama-agama di dunia ini dan juga karena mereka
tidak sadar betapa terbatasnya rencana universal mereka sendiri, mereka
akhirnya menjadi pluralis setengah matang yang telah menjadi imperialis anonim.
Masalah kedua adalah jika model pluralis terus mempertahankan tanggungjawab dan
keadilan global sebagai sentral, hal ini akan menjadi lebih eksklusif ketimbang
plural. Mempertahankan keadilan atau keprihatinan terhadap dunia ini sebagai
inti – atau bahkan elemen penting – dalam dialog berarti melarang agama-agama
tersebut berpartisipasi. Masalah yang ketiga adalah masalah politis yang
disebabkan universalisme. Para pluralis yang bermaksud baik bisa menjadi pelaku
atau pion penindasan atau perlakuan buruk terhadap pihak lain. Kaum pluralis
sangat mudah tergelincir ke dalam permainan kekuasaan.
Di samping permasalahan diatas, suatu
masalah yang baru muncul adalah kemunculan suatu model baru di samping
pemahaman eksklusif-inklusif tradisional maupun pluralis. Dengan memanfaatkan
wawasan-wawasan pascamodernitas, sejumlah teolog Kristen mengusulkan suatu
model alternatif yang disebut dengan model pascaliberal. Inti pemikirannya
adalah bahwa umat Kristen – sebenarnya semua umat beragama – harus lebih banyak
berada dalam ranah khusus mereka masing-masing. Akan tetapi, walaupun harus
tinggal dalam ranah khusus kita sendiri, kita tidak boleh mengabaikan tetangga
kita. Ini bukan berarti bahwa kita berusaha mencari metode atau dasar dimana
kita dapat saling memahami, tetapi bahwa kita membiarkan mereka memahami siapa
kita. Namun ada berbagai tanggungjawab lainnya untuk menjadi tetangga yang
baik. Kita harus berbicara dengan mereka. Oleh karena itu (dalam perjumpaan
yang ad hoc) yang ditekankan adalah “apologetika”. Namun tugas utama adalah
tetap menjaga identitas masing-masing sambil bersaksi. Dengan pendekatan dialog
demikian, tidak ada pihak yang harus berapologi. Oleh karena itu, model
pascaliberal merasa lebih memadai untuk kesadaran pascamodern dan lebih cocok
untuk keyakinan Kristen daripada model pluralistik-korelasional.
Bab 4. Penderitaan Global Menuntut
Tanggung Jawab Global
Walaupun kritik dan peringatan yang
muncul dari pascamodern tulus dan absah, akan tetapi kalau keberatan-keberatan
semacam itu dijadikan alasan untuk meninggalkan atau mengurangi upaya kita
dalam mengadakan respons yang kooperatif dan terkoordinasi dari berbagai bangsa
dan agama terhadap realitas penderitaan manusia dan perusakan lingkungan, maka
pasti ada sesuatu yang salah dalam semua keberatan itu. Memaksakan dominasi
kepelbagaian dan ketidakmugkinan menemukan dasar bersama untuk keputusan etis
bersama bisa mengarah kepada kelesuan atau kesepian moral. Disamping itu, kalau
kita tidak memiliki agenda bersama, kalau tidak ada kriteria yang sama yang
bisa dipakai dalam konsensus tanpa kekerasan, maka akhirnya apa yang dikatakan
“benar” akan ditentukan oleh kekuasaan – oleh yang punya uang atau senjata.
Oleh karena itu, walaupun kita menikmati kepelbagaian, kita juga harus
mengupayakan apa yang dapat mempersatukan kita dalam keprihatinan dan tindakan
bersama untuk mengatasi penderitaan sesama di planet kita ini.
Apa yang saya katakan bukanlah bahwa
ada semacam esensi bersama atau pengalaman religius yang sama ataupun suatu
tujuan bersama yang jelas dalam semua agama. Akan tetapi saya menunjuk pada
sesuatu yang saya pikir sudah jelas secara kejam dan menyakitkan ketika
seseorang memandang dan mencoba hidup dalam dunia ini seperti apa adanya: ada
suatu konteks bersama yang di dalamnya terdapat berbagai masalah yang kompleks.
Konteks ini membutuhkan suatu agenda bersama di mana semua agama dapat
bersama-sama memahami dan memberi makna satu sama lain. Apa yang sama dalam
berbagai masalah ini maupunn dalam konteks yang saya maksudkan adalah
pengalaman atas kenyataan penderitaan yang mengerikan – penderitaan yang
menguras kehidupan dan membahayakan masa depan umat manusia dan planet ini.
Setidak-tidaknya ada beberapa latar belakang penderitaan dunia ini, dalam
berbagai bentuk dan akarnya. Penderitaan badaniah disebabkan oleh karena
kemiskinan. Penderitaan bumi disebabkan oleh karena penyalahgunaan. Penderitaan
roh disebabkan oleh karena viktimisasi (yang juga berarti ketidakadilan).
Oleh karena keadaan yang
memprihatinkan dari penderitaan-penderitaan dunia ini, ada sekelompok orang
yang berusaha merumuskan suatu etika global yang dapat dipakai sebagai dasar
yang dapat menuntut sikap bersama untuk mengatasi semua krisis yang ada. Salah
satunya adalah Hans Kung yang berpendapat bahwa masalah-masalah yang mengancam
manusia kini membutuhkan penanganan bersama dan terpadu, namun hal itu tidak
mungkin terjadi kecuali didasarkan pada dan diarahkan oleh satu persetujuan
bersama tentang tujuan etis dan cara-cara etis yang dipakai untuk mencapai
tujuan itu.
Etika global semacam itu, yang
diperlukan untuk melestarikan aksi global tidak bisa dirumuskan tanpa sumbangan
agama. Dalam berbagai simbol dan naratif yang sangat berbeda-beda, agama
menawarkan kepada para pengikutnya suatu visi tentang pengharapan bahwa mereka
dan dunianya bisa berbeda, bisa mengalami transformasi, bisa menjadi lebih
baik. Keyakinan religius bahwa visi pengharapan ini bisa terlaksana didorong
dan dikuatkan oleh energi yang dimiliki agama untuk menjalankan keyakinan itu,
menghimpun kita semua untuk tujuan itu, apa pun yang terjadi. Inilah kontribusi
dari visi dan energi yang dapat dan harus diberikan agama dalam merumuskan dan
menindaklanjuti suatu etika global. Usulan Kung ini, walaupun barangkali lebih
kompleks dari yang diduganya, dan walaupun harus dilaksanakan dengan lebih
berhati-hati dalam bentuk yang lebih berbeda dari yang diusulkannya, merupakan
pandangan yang akan diterima oleh lebih banyak orang dan bangsa-bangsa di dunia
ini. Kita membutuhkan bentuk-bentuk kerjasama etis baru yang bisa dipakai untuk
melaksanakan dialog dan konsensus etis yang baru, dan untuk inilah, semua agama
– secara bersama-sama, bukan sendiri-sendiri – memainkan peranan yang sangat
penting.
Bab 5. Tanggungjawab Global: Dasar
Bersama Bagi Dialog Antar-Agama
Dalam upaya menyeimbangkan
kepelbagaian religius-kultural dengan tanggungjawab global, menurut saya,
tanggungjawab lebih penting daripada kepelbagaian. Kalau kini orang sedang
mencari sesuatu yang bisa menjadi dasar kepercayaan mereka bagi kemungkinan
dialog yang autentik dan yang akan mengarahkan upaya mereka dalam kemungkinan
ini menjadi kenyataan, saya kira mereka dapat menemukannya di sini: suatu
tanggungjawab global terhadap kesejahteraan manusia dan ekologi. Tanggungjawab
ini dapat memberikan motivasi untuk mendorong kebutuhan untuk berdialog yang
diakui secara global. Karena keprihatinan semacam itu, terhadap soteria
menciptakan solidaritas secara alamiah dan otomatis, maka keprihatinan tersebut
memberikan motivasi dan komitmen terhadap tugas dialog antar-agama. Solidaritas
ini menghubungkan kosmos, kemanusiaan, dan keilahian dalam suatu mutualitas dan
kesalingterhubungan di mana kita semua bertanggungjawab terhadap kesejahteraan
satu sama lain. Solidaritas semacam ini hanya dapat diyakini atas dasar percaya
kepada Roh universal – atau kepada sesuatu yang memberikan identitas kita,
namun menghimpun kita dalam kesatuan, dan memanggil kita untuk saling melayani.
Jadi, Roh bukanlah suatu dasar tetapi suatu kesalingterhubungan yang memupuk
persatuan melalui partikularitas, dalam kasih bersama.
Melaksanakan suatu dialog antar-agama
yang soteriosentris yang memiliki tanggungjawab global sebagai konteksnya,
titik berangkatnya, dan tujuannya adalah mengusulkan suatu dialog di mana
praksis memainkan peranan penting. Mitra dialog tidak boleh hanya berbicara
tentang tradisi religius mereka masing-masing tetapi juga tentang bagaimana
tradisi itu bisa dipahami dan perlu dipahami ulang dalam dunia kontemporer
kita. Dialog harus menghubungkan tradisi kita dengan pengalaman kita dan dunia
ini. Penderitaan itu universal dan bersifat langsung sehingga menjadi ranah
yang sangat cocok, dan diperlukan untuk membangun suatu dasar bersama dalam
melaksanakan perjumpaan antar-agama. Oleh karena itu, suara korban yang
tersingkir – termasuk mereka yang berbicara atas nama Bumi yang dikorbankan –
memiliki tempat terhormat dalam dialog, bukan karena mereka begitu berbeda,
tetapi karena perbedaan mereka menantang dan bisa merusak atau mengalihkan
kesadaran kita.
Bab 6. Keadilan Siapa? Pembebasan
Siapa?
Walaupun pada umumnya agama
berhubungan dengan Allah atau yang terkhir, dan dengan kehidupan sesudah mati,
dan dengan hal mengubah atau memperluas kesadaran kita – tetapi agama juga
berhubungan dengan hal menghadapi, menetapkan, dan kemudian memperbaiki apa
yang salah dalam cara manusia menjalankan kehidupan bersamanya di dunia ini.
Agama mengundang hal-hal yang lebih daripada sekadar manusiawi untuk
mentransformasi atau membebaskan manusia. Karena pengalaman keagamaan yang
berbeda-beda itu muncul dari dalam komitmen yang sama terhadap tanggungjawab
global, kita bisa menjadi lebih percaya diri bahwa kebanyakan perbedaan
keagamaan kita tidak akan saling bertentangan, tetapi justru analogis dan
komplementer.
Upaya mengatasi penderitaan dan
ketidakadilan tidak hanya memberikan kepada kita “indra peraba” pengalaman yang
dengannya kita bisa memahami bahasa keagamaan tetapi juga suatu proses
eksistensial, yang dalam kepelbagaian wujudnya dapat ditemukan dalam kebanyakan
tradisi keagamaan. Pengalaman-pengalaman keagamaan bisa sama untuk setiap
pengikut semua agama. Oleh karena itu, bahwa ketika umat berbagai agama mencari
suatu communicatio in sacris yang multi-iman, maka kini mereka juga bisa
berbagi pengalaman dan bahasa religius mereka dalam praksis konkret dari
spiritualitas global dan upaya menegakkan keadilan bagi manusia dan lingkungan
seperti yang dituntut tanggungjawab semacam itu.
Bab 7. Satu Bumi dan Beragam Kisah
Kita
Prinsip fundamental kisah penciptaan
ilmiah (mis. Teori Big Bang) sejalan dengan apa yang diakui kebanyakan agama
tentang kisah penciptaan. Dengan kesadaran baru tentang alam semesta dan
pemahaman atas hubungan ekologis kita dengannya, kita bisa berbicara tentang
alam semesta sebagai suatu komunitas keagamaan yang lebih luas, di mana
berbagai komunitas sejarah dari berbagai agama yang khusus dan beragam bisa
saling mengenal dan sadar; bagaimana agama yang khusus dan beragam bisa saling
mengenal dan sadar; bagaimana kisah individu mereka masingmasing merupakan
bagian dari kisah alam semesta. Di dalam komunitas Bumi yang baru ditemukan
ini, agama bisa saling memahami dengan cara yang baru. Oleh karena apa yang
kita ketahui tentang Bumi dan alam semesta masa kini membekali agama bukan
hanya dengan kemungkinan untuk memiliki kisah religius yang sama tetapi juga,
dengan suatu tugas etis bersama yang diperlukan dan pedoman untuk menjalankan
tugas itu.
Karena penderitaan manusia dan
lingkungan itu universal maupun langsung, ia bisa menjadi konteks dan kriteria
bersama bagi semua umat beragama untuk menilai berbagai klaim kebenaran
religius. Namun, agar berhasil, tidaklah cukup bahwa para peserta dialog
antar-agama hanya “mengingat” kenyataan penderitaan, korban ketidakadilan
manusiawi dan ekologis. Yang menderita, para korban, harus turut menentukan
agenda dialog, prosedurnya, formatnya, tempatnya dan bahasa juga. Dengan
kehadiran aktif suara mereka yang menderita dalam wacana antar-agama, para
peserta bisa menerapkan kriteria etis-politis dengan lebih realistis dan
efektif. Jadi, terutama dalam tingkat praktis ini, umat beragama dapat
mengalami klaim kebenaran mereka sebagai absolut dan relatif. Refleksi tentang
kesejahteraan manusia dan lingkungan sebagai kriteria relatif-absolut semacam
ini bisa berwawasan, bahkan juga inspiratif.
Bab 8. Bagaimana Cara Kerjanya?
Dialog selalu merupakan langkah kedua
selayaknya apa yang dikatakan oleh para teolog pembebasan (teologi selalu
merupakan langkah kedua). Arah dialog praktis ditujukan pada: ketika umat
beragama berbagi pergumulan bersama sebagai umat beragama, mereka akhirnya akan
berbicara tentang agama. Mereka akan berbagi apa yang menggerakkan dan menuntun
mereka dalam ketekunan mereka mengobati penderitaan sesama dan Bumi ini. Di
dalam metode yang liberatif atau yang bertanggungjawab secara global, roda
hermeneutik berputar dengan empat jarijari yang terus-menerus saling mengajak
dan membantu. Semua kata yang menggambarkan empat jari-jari ini mulai dengan
awalan atau preposisi (“with”) yang diinggriskan: com-passion, conversion,
col-laboration, com-prehension.
1. Compassion (Belas Kasih) adalah
gerakan pertama menuju perjumpaan antar-umat berbeda agama. Mereka yang
merasakan hal tersebut akan mendapat diri mereka terhubungkan dua arah: dengan
para korban dan dengan mereka yang menanggapi dengan belas kasih yang sama.
2. Conversion (Pertobatan) adalah merasa
bersama, dan bagi sesama yang menderita berarti merasa diklaim oleh mereka.
Mereka bukan hanya menyentuh perasaan kita, tetapi juga mengajak kita memberi
tanggapan. Sesungguhnya, merasa berbelas kasih berarti bertobat; hidup kita
berbalik dan berubah. Namun ini adalah pertobatan bersama. Jadi dalam
pertemuan-pertemuan awal dari satu dialog liberatif, umat berbeda agama akan
berbicara tentang bagaimana mereka merasa berbelas kasih dan bagaimana mereka
merasa diubah oleh berbagai pengalaman ketidakadilan atau penderitaan manusia
dan lingkungan – atau bagaimana mereka sendiri menjadi korban.
3. Collaboration (Kolaborasi): Rasa belas
kasih terhadap penderitaan dan bertobat atas penyebabnya akan memungkinkan
adanya tindakan. Di sinilah letaknya pusat praksis liberatif yang akan
mempererat ikatan eksistensial manusia di antara umat yang berbeda latar
belakang agama. Pertama, praksis ini menunjuk agar sesudah menyetujui
masalah-masalah yang akan ditangani, para peserta dialog berupaya
mengidentifikasi dan memahami asal-usul atau penyebab masalah-masalah tersebut.
Ini membutuhkan semacam analisis sosio-ekonomi bersama. Oleh karena itu
dibutuhkan upaya untuk saling mendengarkan analisis dan usulan masing-masing
yang berakar di dalam dan ditopang oleh sikap belas kasih terhadap mereka yang
menderita; jadi, keprihatinan utama yang mengarahkan pembicaraan bukanlah
keinginan masing-masing untuk memperkenalkan agenda atau keyakinan religius
masingmasing, tetapi keinginan untuk menghapus penderitaan dan memperbaiki
keadaan. Lebih efektif lagi, berbagai upaya yang dilakukan oleh multi-agama
dalam membangun kolaborasi dari dalam kepelbagaian analisis dan rencana akan
dituntun dan selalu dikoreksi oleh para korban dan kaum miskin yang tengah
berjuang. Mereka berfungsi sebagai “wasit” di antara berbagai pemikiran umat
beragama yang berbeda-beda.
4. Comprehension (Pemahaman): setelah
multi-agama ini bertindak dan menderita bersama, setelah terpanggil
bersama-sama secara baru oleh para korban dari Bumi ini- kini mereka akan
merenungkan dan berbicara tentang berbagai keyakinan dan motivasi religius
mereka. Kini mereka mulai berusaha “mendengar kembali” atau “meninjau ulang”
kitab suci, keyakinan dan kisah masing-masing serta kemudian menjelaskannya
bukan hanya kepada mereka sendiri, tetapi juga kepada orang lain tentang apa
yang menggerakkan dan menuntun serta melestarikan sikap belas kasih, pertobatan,
dan kolaborasi mereka demi kesejahteraan manusia dan lingkungan. Oleh karena
dialog yang liberatif dan bertanggungjawab secara global hanya bisa dilakukan
dalam suatu komunitas, oleh karena itu diperlukan komunitas basis manusiawi.
Dalam komunitas ini, upaya mereka untuk saling berinteraksi harus juga
melibatkan keprihatinan bersama tentang kesejahteraan manusia dan ekologi. Jadi
prioritas utama sebagai tipe dialog yang liberatif dan bertanggungjawab secara
global adalah dialog aksi. Akan tetapi, walaupun demikian dialog semacam itu
harus juga mencakup dialog studi dan dialog spiritualitas agar dapat kuat dan
berputar.
Bab 9. Bisa Dilaksanakan
Untuk melihat bagaimana hal ini mulai
dilaksanakan, di India agar dialog antar-agama bisa relevan dan autentik di
India masa kini, para peserta harus peduli atas pembebasan manusia (dan banyak
menambahkan kepedulian atas lingkungan juga). Di India tidak ada perubahan
sosial efektif yang terjadi tanpa ditopang kekuatan religiositas masyarakat.
Teologi pembebasan tidak bisa berciri Kristen. Ia harus bersifat antar-agama.
Walaupun barangkali tidak seterpadu umat Kristen, ada juru bicara dari berbagai
tradisi keagamaan lainnya di India yang juga bersiteguh dan bahkan bersemangat
mengundang suatu pertemuan agama-agam yang perhatian utamanya adalah
penderitaan sosial dan ekonomi yang luas dari mayoritas penduduk India. Tetapi
tidak semuanya sejiwa dan sejelas yang diharapkan.
Oleh karena komunalisme yang
menggambarkan konflik di India, di sini kita dihadapkan dengan sebuah paradoks
lain. Justru kesulitan atau ketidakmungkinan suatu dialog liberatif di antara
agama di India merupakan alasan, atau setidaknya kesempatan mendesak, bagi
pentingnya dilaksanakan dialog itu. Di benak orang India, maksud untuk
mempertahankan atau mengamankan kekuasaan politik-ekonomi, tidak diragukan:
mereka tidak dapat melakukannya tanpa memakai agama – biasanya tipe agama yang
fundamentalis-sebagai bagian dari program partai mereka. Di sinilah iman agama
dapat memberikan suaranya: kebulatan tekad di antara para politisi di India
dalam penyalahgunaan agama harus diimbangi dengan keteguhan hati dan komitmen
berbagai komunitas keagamaan untuk mengembangkan cara menggunakan agama yang
benar menurut keyakinan agama mereka. Bagi orang India, dialog merupakan hal
yang kedua atau ketiga dilakukan. Alasannya bukanlah karena
pertimbangan-pertimbangan hermeunetik bahwa praksis bersama merupakan lahan di
mana pemahaman dapat bertumbuh. Tetapi alasannya terletak pada keyakinan bahwa
berbagai kenyataan sosiologis masa lampau dan kini telah meyakinkan masyarakat
India bahwa tanpa langkah persiapan yang baik, lahan dialog di India gersang.
Ada beberapa contoh dari apa yang
disebut dengan dialog yang korelasional dan bertanggungjawab secara global.
1. Dialog Dalit
Walaupun kebanyakan apa yang disebut gerakan Dalit sekuler masih
berhati-hati memakai agama sebagai perekat tambahan untuk mengikat berbagai
bentuk pengalaman Dalit, banyak di antara mereka yang sudah mulai menemukan
pengertian lain tentang apa itu agama atau agama bisa menjadi apa: bukan hanya
suatu bentuk budaya yang diberikan yang harus mereka hadapi, tetapi juga
seperangkat kuasa transformatif dan subversif yang diabaikan. Kalau berbagai
kelompok Dalit saling terbuka, pertama-tama dalam praksis bersama bagi
kesejahteraan manusia dari semua Dalit dan kemudian dalam dialog religius
bersama, maka mereka juga sadar bahwa ada begitu banyak hal yang sama di antara
mereka seperti yang ada dalam bentuk-bentuk spiritualitas dan bahkan dalam
berbagai teks sakral mereka atau tradisi lisan yang telah menuntun kehidupan
leluhur mereka. Dalam dialog antar-agama di antara para Dalit yang mulai banyak
di India, teks-teks dan ceritacerita semacam inilah yang dibahas dan ditafsir.
2. Komunitas Basis Gandhi
Komunitas basis atau akar rumput Gandhi menamakan dirinya demikian
jikalau visi yang menyatukan visi mereka adalah visi Gandhi, bahwa semua orang
India dari semua tingkatan sosial, kasta, dan agama mempunyai tanggungjawab
pribadi untuk membangun suatu bangsa yang bersatu yang mengakui kepelbagaian,
suatu bangsa yang didasarkan atas keadilan untuk semua. Organisasi awal dari
komunitas-komunitas ini merupakan hasil dari berbagai percakapan antar-agama.
Pertemuan ini diharapkan dapat mewujudkan visi Gandhi tentang komunitas yang
saling bertatap muka (face to face communication) yang akan menjamin rasa
memiliki kemampuan dikalangan orang kecil di dalam desa setempat. Rencana
praktisnya adalah mencari desa-desa yang berminat dan membentuk komunitas yang
terdiri dari tidak lebih dari tiga puluh keluarga yang akan dilatih dalam
masalah kepemimpinan dan organisasi. Dalam pertemuan-pertemuan komunitas basis
Gandhi (Basic Gandhiean Community) telah terlihat bahwa bagaimana dinamika
dialog antar-agama yang “kolerasional dan bertanggungjawab secara global”
dilaksanakan.
3. Para Rasul Dialog dan Pembebasan di
Sri Lanka
Di Sri Lanka, komunitas basis manusiawi terbentuk di sekitar Tulana
Centre, yaitu Assoiciation for Hearing Impaired Children. Asosiasi ini
merupakan wujud nyata dari komitmen, profesionalitas, dan impian Suster Greta
Nalawatta, yang dibina secara spiritual dan material oleh Pieris, yang dibangun
khusus menangani anak-anak pra-sekolah yang tuna-rungu. Dalam situasi semacam
ini, suatu komunitas yang peduli dan ingin bekerjasama muncul; para anggotanya
terutama terdiri dari orangtua anak-anak tuna-rungu itu yang berasal dari
agama-agama berbeda di Sri Lanka. Setelah bertahun-tahun, seiring dengan
kedekatan mereka satu sama lain dan berkembang bersama-sama, mereka juga
semakin saling menghormati dan memahami perbedaan gagasan dan ibadah agama
mereka masing-masing. Bertindak bersama telah menyebabkan mereka meyakini
masalah secara bersama. Di Colombo, dialog yang sama juga dikembangkan oleh
Tissa Balasurya untuk mengajak semua umat beragama mengenal dan menyadari
bersama hubungan hakiki antara agama dan masyarakat. Pieris dan Balasuriya
merupakan dua suara Kristen yang menonjol dan provokatif yang menyerukan adanya
koordinasi di antara berbagai tanggapan terhadap realitas kaum miskin dan
kemajemukan agama-agam di Sri Lanka dan di Asia.
4. Desa Katchur
Di desa kecil bernama Katchur di luar kota Madras, ada satu organisasi
bernama “Share and Care Children’s Welfare Society” yang dikelola oleh sepasang
suami istri Katolik bernama Carmel dan Steven Arokiasamy. Mereka mendirikan
panti asuhan yatim-piatu, sekolah dan pusat kesehatan yang dikhususkan bagi
para Dalit dan mereka yang berasal dari kasta rendah dalam desa itu serta
daerah sekitarnya. Sejak semula mereka selalu mendasari dan memusatkan kegiatan
mereka pada komitmen sentral untuk mengembangkan kesejahteraan para Dalit dan
seluruh penduduk desa. Selain praksis liberatif, kegiatan ini juga suatu
praksis multi-agama, karena mereka bersedia menerima bantuan, baik dari Hindu
maupun Kristen, serta bersedia bekerjasama dengan siapa saja yang memiliki
komitmen memperbaiki kualitas hidup penduduk desa. Dari praksis liberatif ini,
suasana kepercayaan dan dialog mulai terbentuk.
Bab 10. Suatu Kesimpulan Pengantar
Seperti salah seorang pemuka Yesuit
yang saya kenal, Jon Sobrino, telah mengingatkan saya (dengan mengutip
Irenaeus), Gloria Dei, Vivens Homo -“Kemuliaan Allah ada di dalam kehidupan
ciptaan-Nya”. Kalau agama dan buku-buku agama memang mengembangkan kemuliaan
Allah, mereka akan juga mengembangkan kesejahteraan ciptaan.