Rabu, 30 April 2014

Paulus

Paulus, yang awalnya bernama Saulus, adalah seorang Yahudi yang lahir dan dibesarkan di Tarsus, provinsi Kilikia, wilayah Asia Kecil (Kisah Para Rasul 21:39). Dia adalah keturunan suku Benyamin dan termasuk orang Ibrani. Dia adalah warga negara Romawi. Dia hidup selama hampir 7 dekade penting sejak kelahiran Yesus. Dalam Alkitab, dia digambarkan sebagai orang yang kecil, memiliki kelemahan dalam penglihatannya (Galatia 4:15; 16:11), dan tidak terlalu fasih dalam berbicara (2 Korintus 10:10; 11:6). Dalam sebuah buku berjudul "Act of Paul", sosok Paulus digambarkan sebagai seorang laki-laki berperawakan kecil tapi kuat, sedikit botak, berhidung seperti kakaktua, dan memiliki kaki yang bengkok. Namun seperti apa perawakan Paulus, belum ada data yang menyebutkannya dengan pasti.

Missio Ecclesiae dan Misio Dei, Misi Holistik, Gereja Misioner

Missio Ecclesiae

Missio Ecclesiae adalah pengutusan gereja yang merupakan pekerjaan missioner dari jemaat Kristen sepanjang sejarah dunia yang di dalamnya terdapat pengutusan para rasu untuk memberitakan Injil keselamatan kepada segala bangsa (umat manusia).[1]Gereja hadir untuk melakaksanakan misi Allah  (Missi Dei), yaitu untuk memberitakan Firman Allah dan mengahadirkan damai sejahtera atau syalom Allah di tengah-tengah dunia. Dalam surat Paulus (Ef. 4:13-14), disebutkan gereja harus sampai pada kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus. Gereja harus berkarya dalam Kristus serta hidup dan berjalan di dalam Kristus sebagai misi-Nya. Dalam hal ini jelaslah bahwa gereja dan misi tidak dapat terpisahkan, sebab misi gereja (Missio Ecclesiae) melanjutkan pengutusan Allah Putera dan Roh Kudus yang berawal dari Allah Bapa (Yoh. 17:18; 20;21). Jadi misi berawal dari Allah Bapa yang melalui pengutusan Yesus Kristus ke dalam gereja.[2]

Dasar Teologi Misi

Pengertian misi akan selalu berhubungan dengan sejarah keselamatan Allah sendiri bagi umat-Nya mengerti dan memahami dasar dari Teologia. Teologia bukanlah sekedar kumpulan doktrin/ajaran yang dapat dipegang dan digunakan untuk menghadapi bermacam-macam persoaln di segala zaman dan tempat. Juga bukan setumpuk resep-resep agamawi yang manjur dalam memecahkan segala masalah keidupan orang Kristen. Perkataan Theologia dari bahasa Yunani Theos, yang berarti Allah dan Logos, yang berarti perkataan.

Jadi, teologia berarti bidang ilmu yang mempelajari iman dan tindakan dan pengalaman agama. Sedangkan Misi, menurut Kamus latin bahasa Indonesia, Missio berasal dari kata Mitto yang mempunyai arti sebagai berikut: Pengiriman; hal mengutus; hal membiarkan pergi seperti : pembebasan (orang tawanan/tahanan); pemberhentian (dari dinas militer); Misi, Mitto mempunyai arti: menyebabkan pergi, membiarkan pergi (membebaskan, melepaskan). Jadi, Teologi Misi adalah ilmu yang mempelajari iman dan tindakan serta pengalaman tentang pengutusan atau pengiriman seseorang untuk melakukan pelayanan pengabaran Injil Yesus Kristus. 

Misi Dalam Perjanjian Lama (Sebuah Ringkasan)

Misi dalam Perjanjian Lama dikaitkan dengan pemilihan Israel sebagai bangsa yang dipilih Allah dan juga hubungan Israel dengan bangsa - bangsa lain. Untuk itu kita perlu memperhatikan 3 aspek dari pemilihan Israel, yakni :

Aspek Universalisme

Pada halaman pertama dari kitab suci, kita sudah diperhadapkan dengan perbuatan – perbuatan Allah terhadap seluruh dunia. Ia bertindak secara universal. Kisah penciptaan langit dan  bumi, dan penempatan manusia di dalamnya merupakan prasejarah bagi Israel, dan serentak pula sebagai prasejarah bagi keselamatan seluruh dunia (Kej 1-11). Tetapi prasejarah ini juga memperlihatkan bagaimana kejahatan merembes masuk kedalam dunia. Keadaan yang demikianlah, yangh menjadi latar belakang pemanggilan Abram (Kej 12). Ia dipanggil untuk pergi dari sanak saudaranya meninggalkan dunia orang kafir, tetapi Tuhan yang memanggil itu berjanji bahwa ia akan menjadi berkat untuk semua kaum dimuka bumi. Kisah pemilhan Abraham dan keturunannya merupakan persiapan bagi Israel yang berwujud keluaran dari Mesir. Dengan memilih umat Israel maka Allah mengarahkan pandanganNya keseluruh dunia. Dalam hubungan ini, maka pentinglah bunyi Keluaran 19 : 5 - 6. Kekudusan dan Keimaman menyatakan fungsi pelayanan. Selaku pengantara Israel juga melayani bangsa-bangsa lain (Yes 61 : 6).

Selasa, 29 April 2014

Suatu Kajian Tentang Keberatan Terhadap Istilah Firman Allah

Beberapa faktor yang menjadi dasar keberatan terhadap istilah Firman Allah antara lain:
  1. Karena konsep pemakaian Firman Allah terlalu berbau dogmatis
  2. Kesulitan-kesulitan hermeneutis
  3. Keberatan-keberatan theologis
Ada beberapa kelompok/pandangan yang menolak Alkitab adalah Firman Allah, yaitu: 

  1. Kelompok Skeptik/Agnostik: Mereka menolak dan bahkan mencemooh Alkitab, mereka beranggapan Alkitab bukanlah Firman Allah.
  2. Kelompok Liberalisme: Kelompok ini mengajarkan bahwa Alkitab bukan seluruhnya Firman Allah, tetapi Alkitab berisi Firman Allah dan sebagian hanyalah tulisan/karya manusia saja.
  3. Kelompok Neo-Ortodox: Kelompok ini mengajarkan bahwa kata-kata Alkitab menjadi Firman Allah jikalau Allah menggunakannya untuk menghadapi manusia dan pada saat manusia mengerti, kata-kata Alkitab itu menjadi Firman Allah baginya. Jadi Alkitab bukan Firman Allah tetapi dapat menjadi Firman Allah.

Theologia Religionum: Sebuah Pengantar Kepekaan Theologi pada Tanda Zaman

Oleh:
TH. Sumartana


Kesibukan ber-Theologi kita sekarang ini terasa kurang terarah. Mungkin, karena kita kurang merumuskan persoalan dengan jelas, atau bisa juga karena soal yang kurang kita pergumulkan kurang mempunyai pijakan pada kenyataan kehidupan. Kesibukan kita kurang peka terhadap tanda-tanda zaman. Sehingga, Theologi kita tidak punya komitmen yang sungguh-sungguh terhadap masa depan.

Kecuali itu, dalam lingkungan akademis Theologi kita juga tidak punya referensi pada perkembangan ilmu social pada umumnya, sehingga prespektif berpikirnya cenderung berpusing-pusing mengitari diri sendiri. Di sana-sini sekedar sebagai ungkapan yang merupakan pergumulan sepenggal, tidak utuh dan tidak mempunyai gaung yang mampu merangsang orang untuk memberikan tanggapan. Sebenarnya perlu kita akui, bahwa ada cukup banyak fragmen yang terserak-serak yang merupakan buah pikiran reflektif sesaat, namun belum dipadukan dalam sebuah susunan yang menyatu. Dalam keadaan “impase” semacam itu diperlukan pemikiran terobosan yang bisa ditawarkan sebagai sebuah kemungkinan pengganti. Sebuah alternative guna mengawali komitmen ber-Theologi yang berangkat dari pengalaman nyata. Dan dengan demikian lebih punya kemungkinan untuk ditumbuhkan menjadi sebuah diskursus, untuk merangkai usaha berTheologi lebih utuh dan berkesinambungan.

Mitologi Pulau Timor

Pulau Timor dengan luas sekitar 30.777 km² ini, terletak dibagian selatan nusantara. Dalam sejarah politik pulau ini dipartisi menjadi dua bagian selama berabad-abad akibat penjajahan. Melalui perjanjian Lisboa pada tahun 1859, Belanda dan Portugis menjalin kesepakatan bahwa Belanda menguasai bagian barat pulau Timor dan Portugis menguasai bagian timurnya. Sekarang Timor Barat atau dahulu dikenal sebagai Timor Belanda sampai 1949, telah menjadi bagian Provinsi Nusa Tenggara Timur - Indonesia, sedangkan Timor Timur atau dahulu dikenal sebagai Timor Portugis, sebuah koloni Portugis sampai tahun 1975 dan sempat menjadi bagian dari Indonesia hingga tahun 1999, dan pada tahun 2002 telah menjadi negara merdeka Republik Demokratik Timor Leste.

Senin, 28 April 2014

Diaspora dan Yudaisme Rabinik

Catherine Hazser

Studi tentang sejarah, sastra, dan keyakinan dan praktik Yahudi kuno di Tanah Israel dan Diaspora agama memberikan latar belakang yang tepat dan konteks untuk mempelajari buku-buku selanjutnya dari Alkitab Ibrani, Apocrypha dan Pseudepigrapha, dan tulisan-tulisan Perjanjian Baru. Dari waktu pembuangan ke Babel, dan terutama dari Helenistik kali dan seterusnya, sebuah Diaspora Yahudi yang hidup ada bersama komunitas Yahudi di Tanah Israel (lihat Barclay 1996; Rutgers 1995 dan 1998; Ishak dan Oppenheimer 1996). Selama masa Kuil Kedua (520 SM sampai 70 M.) dan sepanjang kali rabbi Israel  tetap menjadi pusat dunia Yahudi (lih. Gafni 1997).

Scribes Anda Synagoggues (Hukum Taurat dan Sinagoge)

SCRIBES AND SYNAGOGGUES

Lester L. Grabbe

The topics of scribes and synagogues could be treated separately, since it is a matter of interpretation as to whether they had anything to do with each other. Nevertheless, modern theories have not infrequently seen both scribes and synagogues as ‘lay’ institutions, over against priests and the temple. Before considering the question of their relationship, the two topics will be looked at separately.


SCRIBES

Scribes were the backbone of administration in the ancient and Hellenistic Near East. As those able to read and write, and trained in record keeping and document drafting, they were necessary in every society. When literacy and the production of writings are discussed in scholarly writings on the Bible, the place and importance of professional scribes is not always recognized.


The Hebrew Bible assumes that scribes were used in the administration of the kingdoms of Israel and Judah: David’s scribes (2 Sam. 8: 17; 20: 25; 1 Chr. 18: 16; 24: 6), Solomon’s scribe (1 Kgs. 4: 3), a royal scribe in the time of Jehoash (2 Kgs. 12: 11; 2 Chr. 24: 11), Shebna the scribe (2 Kgs. 18: 18, 37; 19: 2); Shaphan the scribe (2 Kgs. 22: 3, 8–10, 12; 2 Chr. 34: 15, 18, 20), the scribe of the army commander (2 Kgs. 25: 19; Jer. 52: 25). Jeremiah has a number of references to scribes: the chamber of Gemariah, son of Shaphan, the scribe in theTemple (36: 10); the chamberof the scribe in the king’s palace (36: 12); Elishama the scribe (36: 12, 20, 21); Baruch the scribe plays a prominent role (36: 26, 32); Jeremiah was imprisoned in the house of Jonathan the scribe (37: 15, 20).

Levites as scribes are mentioned in a number of passages of Chronicles that have no parallel in Kings (many would argue that these passages should be dated to the Persian period and reflect the situation then): clans of scribes were said to live at Jabez (1 Chr. 2: 55); Shemaiah ben Nathanel the Levite was a scribe (1 Chr. 24: 6); the clans of the Izharites and Hebronites acted as scribal administrators (1 Chr. 26: 29–32); Jeiel the scribe mustered the army under Uzziah (2 Chr. 26: 11); some of the Levites were scribes, officials, and gate keepers (2 Chr. 34: 13). Zadok the scribe is appointed to a panel by Nehemiah (Neh. 13: 13); his name might suggest that he is a priest, but other members of the panel are identified as a priest and a Levite while he is said only to be a scribe.

It could be debated as to how reliable the information from the Hebrew Bible is. However, we also have contemporary information beginning at least with the Persian period. Ten seal impressions from a horde sold on the antiquities markethave the name ‘to Jeremai the scribe’ (Avigad 1976: 7–8). These do not tell us a lot beyond the title, but we have valuable data from the Jewish community at Elephantine in Egypt. A number of the documents name the scribe who copied it (e.g. TAD A6. 2: 28; A6. 8: 4; A6. 10: 10; A6. 11: 6; A6. 12: 3; A6. 13: 5 ¼ AP 26: 28; AD 4: 4; 7: 10; 8: 6; 9: 3; 10: 5). ‘Scribes of the province’ are named alongside judges and other officials in a letter to Arsames, the governor of Egypt (TAD A6. 1: 1, 6 ¼ AP 17: 1, 6); we also have references to ‘scribes of the treasury’ (TAD 4. 3: 13//4. 4: 12, 14 ¼ AP 3: 13//2: 12, 14). An individual, whose salary had not been paid and had complained to the ‘officials’, was told to complain to the scribes (TAD A3. 3: 5 ¼ BM 4: 5).

The main employers of scribes would have been the provincial administration and the temple (Grabbe 1995: 152–71). Scribes would have worked at various levels, however, all the way from high up in the administration, where they advised and supported the governor and the main offices of the provincial administration, to posts in the treasury where records of payments and even lists of taxpayers were kept, to storage warehouses for taxes and tithes, where they kept inventory of incoming produce and dispersals for approved purposes. We also know about temple scribes. For example, they are referred to in the decree of Antiochus III about 200 BCE (AJ 12. 3. 3, §§142). The temple scribes would have had similar record-keeping duties, but in addition they would have had the responsibility of copying any sacred writings, manuals, instruction books, lists of regulations, priestly genealogies, and the like relating to the temple administration. Some scribes were quite powerful with a high office, whereas others had rather mundane duties. Neverthelesss, the office of scribe—whether high or low—required a trained individual and was preferable to back-breaking labour for uncertain yields in the fields, vineyards, and orchards.

There is evidence that the Levites were especially drawn on for the scribal skills necessary to run the nation as well as the temple (cf. Grabbe 1995: 160–1; Schwartz 1992: 89–101). The temple personnel—both priests and Levites—were the ones who had the education and leisure for intellectual pursuits, and thus constituted the bulk of the educated and those who read, wrote, and commented on religious literature. They were also the primary teachers in religious matters. Thus, not only the cult but also a large portion of the religious activity of other sorts, including teaching and development of the tradition, took place in the temple context. Another function carried out by some scribes—probably only a very few—was that of literary activity. The legendary scribe Ahiqar was said to be an advisor to the king of Assyria and the composer of wise sayings. In The Words of Ahiqar he is described as ‘a wise and rapid/skillful scribe’ (TAD C1. 1: 1; cf. line 35) and as ‘the wise scribe and master of good counsel’ (TAD C1. 1: 42; cf. lines 12, 18). In general, scribes were an important part of the intellectual scene during the Second Temple period (Schams 1998; Grabbe 1995: 152–76). Perhaps the most famous passage on the scribe is that of Ben Sira (38: 24–39: 11, NEB):
A scholar’s wisdom comes of ample leisure; to be wise he must be relieved of other tasks. How can one become wise who guides the plough... whose talk is all about cattle?... How different it is with the one who devotes himself to studying the law of the Most High, who explores all the wisdom of the past and occupies himself with the study of prophecies! He preserves the sayings of famous men and penetrates the subtleties of parables. He explores the hidden meaning of proverbs and knows his way among enigmatic parables. The great avail themselves of his services, and he is seen in the presence of rulers. He travels in foreign countries, learning at first hand human good or human evil. He makes a point of rising early to seek the Lord... If it is the will of the mighty Lord, he will be filled with a spirit of intelligence; then he will pour forth wise sayings of his own and give thanks to the Lord in prayer. He is directed in his counsel and knowledge by the Lord, whose secrets are his constant study. In his teaching he will reveal his learning, and his pride will be in the law ofthe Lord’s covenant. Many will praise his intelligence; it will never be forgotten. The memory of him will not die, and his name will live for ever and ever. The nations will tell of his wisdom, and the assembled people will sing his praise. If he lives long, he will leave a name in a thousand; when he goes to his long rest, his reputation is secure.

This is no doubt an idealized image of the scribe, which makes the scribe responsible for knowledge and study of God’s law. Ben Sira’s close association with the Temple (some have argued that he was himself a priest) should be kept in mind, however. It is not clear that Ben Sira was suggesting that everyone with scribal training was to be an expert in the law.

The use of the term ‘scribe’ in Jewish literature after the time of Ben Sira follows basically the usage already outlined: normally, ‘scribe’ refers to a professional: someone trained to write, copy, keep accounts, and otherwise carry out the functions we now associate with being a clerk or a secretary. The position could vary from a rather lowly individual keeping records in a warehouse to a high minister of state whose office was an important one in the established governmental bureaucracy. The situation can be exemplified from Josephus, who makes many references to scribes: village clerks (BJ. 1. 24. 3, §479); the secretary to Herod (BJ. 1. 26. 3, §529); the secretary of the Sanhedrin (BJ. 5. 13. 1, §532); the scribes of the temple (AJ. 12. 3. 3, §142).

Here and there, however, we find hints that the term could also be used of someone learned in the divine law and looked up to as an interpreter of scripture. This might be the case in some passages, though the possibility remains that the individuals referred to were professional scribes who served in the public bureaucracy or were employed by private clients. For example, 1 Macc. 7: 12 speaks of a delegation of scribes who appeared before Alcimus to ask for terms. On the one hand, they may have represented the learned among the anti-Seleucid opposition (some would say they were the scholars among the Hasidim—v. 13); on the other hand, it is also possible that they were professional scribes (nor is it clear that they had anything to do with the Hasidim mentioned in the same general context). Similarly, 2 Macc. 6: 18–31 refers to the martyr Eleazar as a scribe. Is this because of a special knowledge of the law or because he was just an ordinary scribe? For what it is worth, 4 Macc. 5: 4 says that he was a priest.

Apart from Ben Sira, this usage of ‘scribe’ to mean one learned in the sacred law is best known from the NT. In some NT texts ‘scribe’ seems to have almost a sectarian meaning, as if they were a religious group alongside the Sadducees, Pharisees, and others. Thus, Mark 7: 1–23 mentions both Pharisees and scribes together, as does Matt. 12: 38, 23: 2, and Luke 5: 21. Is this a new and different identity for the ‘scribes’? Is there now a religious sect known as ‘the scribes’? The answer is not an easy one, and needs to take into account recent study of the gospel writers, their knowledge and intent. It may be that by the time Mark (usually thought to be the earliest of the evangelists) wrote, the Pharisees were the only group really known, and references to other groups were made not on the basis of proper knowledge (cf. Cook 1978). D. R. Schwartz (1992: 89–101) has noted that since the temple personnel were often drawn on for their scribal skills, the ‘scribes’ of the gospels may in many cases be Levites.

The key may lie in some passages that some scholars (e.g. Cook 1978) have dismissed as secondary. The most likely reading of Mark 2: 16 is ‘scribes of the Pharisees’, which suggests that scribes were not a separate party but certain professionals among the Pharisees. Acts 23: 9 speaks of ‘scribes of the Pharisees’ party’. This suggests that other parties (e.g. the Sadducees) also had their own scribes, perhaps individuals with special expertise in the law or legal interpretations of the sect in question. If so, this usage would be in line with that of Ben Sira, in which the ‘ideal’ of the scribe is not only one with professional knowledge and skills but also one with knowledge and understanding of God’s law. Also, this explanation need not contradict D. R. Schwartz’s argument, since some of the Levites may well have belonged to various of the sects extant at the time.

The question of literacy in ancient societies has been more of an emotive issue than one might expect. This is probably because for some it is linked to the question of whether the composition of biblical literature was early or late. That is, those who defend literacy at an early time in Israel tend to be those who also argue for an early origin of the text (e.g. Millard 1985). Yet most studies agree that functional literacy among the general population was low in most pre-modern societies, especially those with complicated scripts such as Egyptian hieroglyphs or Mesopotamian cuneiform. But was it any different in Israelite and Jewish society, where there was an alphabetic script, as has been argued? Recent studies have indicated that those who had an alphabetic script were not much better off, by all counts (e.g. Young 1998). Historically, having an alphabetic script does not guarantee a high rate of literacy among the general populace, as shown by studies of Greece and Rome (Street 1984; Harris 1989) or even of Jewish society in the late Second Temple period (Hezser 2001), 5 per cent being the general maximum.

A similar judgement applies to the question of schools (Grabbe 1995: 171–4). The ideal of public education is a modern concept. In antiquity the wealthy might hire tutors, and we know that in the Graeco-Roman world ‘sophists’ would take on pupils for payment. Greek cities also operated a ‘gymnasium’ for the training of citizens, but this was limited to the small number who qualified as citizens. In short, a system of schools for the general public was unknown. In the ancient Near East schools for training scribes existed in places like Egypt and Mesopotamia because their vast bureaucracies required many scribes. In ancient Israel and Judah, however, the number of scribes would have been much smaller. Scribes in the temple would have been trained by priests. There are also indications that the scribal office was often passed down from father to son, so that training could be given via a form of apprenticeship (Grabbe 1995: 160–1).

SYNAGOGUES

The question of when and where the synagogue originated has been much debated recently (Binder 1999; Fine 1997, 1999; the essays collected in Urman and Flesher 1995). It used to be taken for granted that the institution of the synagogue arose during the Babylonian exile—or possibly even earlier—and had a central role in worship and instruction throughout Jewish communities from then on. Much recent study finds this picture problematic and ultimately unconvincing. There are several reasons for this. First, no source refers to the synagogue or anything like it until the third century BCE. Secondly, for many centuries the temple seems to have been the centre of public worship, and substitution of some other form of public worship is not likely to have come about very suddenly. Thirdly, when worship outside the temple is mentioned in the sources, the references are to prayer and the like in the context of the home.

No one questions the importance that the synagogue took on for Jewish communities in the early centuries of the Common Era. The synagogue is attested both literarily and archaeologically from the second or third centuries ce as playing a central role in most Jewish communities, functioning as a centre not only of worship but also of community life, whether in Palestine, Egypt, the Graeco- Roman world, or Babylonia. The question is: when during the half a millennium or so after the Babylonian exile did the synagogue develop into this important Jewish institution?

The move to a community place of public worship seems to have taken time. The early written sources that mention Jews worshipping outside Jerusalem always picture them doing so in the privacy of their homes. In Tobit, prayer is conducted and the festivals celebrated in the home (2: 1–3); there is no hint of a community institution. Both Daniel (6: 11) and Judith (8: 36–10: 2) picture their protagonists as praying in their homes (cf. also Acts 1: 13–14). Ben Sira, 1–3 Macc., and the Letter of Aristeas are silent on the question of the synagogue.

The earliest material evidence for the synagogue is in the mid-third century BCE in Egypt, i.e. the Diaspora (Griffiths 1987; Hachlili 1997). At that time we start to find buildings with inscriptions that speak of a ‘prayer house’ (proseuche) of the Jews. This is hardly surprising, because Jewish communities in the areas far away from Palestine had no easy access to the Jerusalem Temple. Pilgrims came each year in great numbers to worship at Jerusalem during the annual festivals, yet this was still only a small minority of Jews the world over. A wealthy Jew such as Philo of Alexandria mentions travelling to Jerusalem only once (De Providentia 2. 64). Perhaps he went more than once in his lifetime, but the impression one has is that he did not go very frequently. Thus, the Diaspora communities would have felt a need for some means of expressing their religion in a community fashion.

Nothing is found in Palestine, however, until the first century CE Theodotus inscription (Binder 1999: 104). Most accept that it is pre-70 (though H. Kee (e.g. 1990) has consistently argued that it is post-70; but see the criticisms of van der Horst 1999: 18–23; Binder 1999: 104–9). The author of the inscription states that the synagogue of the inscription goes back to the time of his grandfather and served as a place for reading the law and giving hospitality to travellers. Otherwise, it has been difficult to find pre-70 remains of synagogue buildings. Ruins of a synagogue are thought to have been found in Gamla to the north-east of the Sea of Galilee, in Herodium, and at Masada. Although not everyone is willing to concede that the archaeology is certain (Chiat 1982: 116–18, 204–7, 248–51, 282–4; there are no inscriptions identifying them, for example), most scholars are willing to accept that the synagogue is attested as an institution in Palestine by the Wrst century ce. This is consistent with the literary sources which suggest that the synagogue was imported into Palestine after the Maccabean Revolt.

The earliest references to anything like synagogues in extant literature are found no earlier than the Wrst century ce. The Wrst of these is Philo of Alexandria (proseuche: In Flacc. 47–9, 53; Leg. 132–4, etc.). Both Josephus and the NT make reference to synagogues in various parts of the Roman Empire. Josephus mentions synagogues in Caesarea (sunagoge: BJ 2. 14. 4, §285), Dora (sunagoge: AJ 19. 6. 3, §§300–5), as well as in Tiberias (proseuche¯: Vit. 54, §277), though not elsewhere in Palestine. The NT is the earliest set of writings that specifically locates synagogues in the centre of Palestine, including Jerusalem. Many passages in the gospel sand Acts describe Jesus or the early Christians attending and even speaking in the synagogues. Perhaps one of the most detailed descriptions is found in Luke 4: 16–29.

What exactly did the synagogue do? What sorts of activities went on in it? Some attempt at describing the activities can be made (cf. Binder 1999: 389–450), but the data are insufficient to give a full picture. The sources vary from primary inscriptions, to alleged official decrees and letters in literary sources, to statements in literary sources. These are not all on the same level of credibility, and Josephus’s apologetic concerns make some of his data suspect. But the same broad picture tends to emerge from the various sources. Reading scripture, prayer, and teaching and homiletic activity seem to have been the main sort of activities in synagogues, but it is difficult to go beyond that with any certainty. It has recently been argued that the synagogue had nothing originally to do with prayer or worship (McKay 1994). This position seems misplaced for two reasons (cf. van der Horst 1999: 23–37; Binder 1999: 404–15): (1) the earliest name in inscriptions is proseuche¯ ‘(place of) prayer, prayer (house)’, which seems an odd name to give a building which had nothing to do with prayer; (2) Agatharchides of Cnidus states that the Jews ‘pray with outstretched hands in the temples (hiera) until the evening’ (quoted in Josephus, Ap. 1. 22, §209). Although speaking of Jerusalem, he is likely drawing on his experience of synagogues in Alexandria and elsewhere in the Diaspora.

The Theodotus inscription speaks only of the reading and study of scriptures (as well as hospitality). The reading of the Torah seems to have been carried out in many synagogues, if not in all. We have no information that would allow us to go beyond this statement. Despite the occasional argument that a biblical reading was done according to a fixed lectionary cycle, this seems unlikely; even rabbinic literature does not attest a fixed cycle until quite late (Grabbe 1988: 408–9). The same applies to the translation of the biblical readings into Aramaic. Although this translation apparently had a place in synagogue services during the rabbinic period, no evidence has so far been produced that targums or targumizing had a place in the pre-70 synagogues.

Finally, there is the question of whether there is a relationship between scribes and the synagogue. It must first be noted that the concept of scribes and synagogues being ‘lay’ institutions is not borne out by the facts. A number of sources suggest that priests and Levites were often involved in major roles in the synagogue (Binder 1999: 355–60). There also seems to have been a conscious imitation of the Jerusalem Temple in many of the Diaspora synagogues (see the survey in Binder 1999: 227–341). In any case, the term ‘lay institution’ seems inappropriate. Of the different officials attested in the various sources (Binder 1999: 343–71), ‘scribes’ are occasionally associated with synagogues. A rather tattered papyrus of the Wrst century BCE, which seems to describe a meeting of a Jewish burial society in the synagogue, mentions a scribe in a broken context (Binder 1999: 447). It probably means that one or more scribes were present to assist the meeting in its business. Two passages in the gospels criticize scribes because they seek the best seats in the synagogue (Mark 12: 29// Matt. 23: 6// Luke 20: 46; cf. Luke 11: 43) and do not teach the way Jesus does (Mark 1: 21–2). This is not a very large haul of data on the subject.

What we can say is that scribes were needed for certain of the activities carried out in the synagogue. They would have kept records and done the other tasks relating to writing and drawing up documents. They would probably also have served as notaries or witnesses to the signing of documents. Thus, one can reasonably presume that each synagogue would have had one or more scribes employed full- or part-time. Mark 1: 21–2 also suggests that scribes had a teaching function. This would have made even more sense if the scribes were often priests or Levites. But this does not lead us necessarily to associate scribes with synagogues or to see synagogues as particularly staffed or run by scribes.

It has sometimes been suggested that the synagogue was particularly associated with the Pharisees—that the synagogue was even a Pharisaic institution. All we can say is that this is simply speculation: there is no evidence to support such a supposition. None of the inscriptions or literary sources makes such an association: the passages on the Pharisees in Josephus, the gospels, and Acts do not mention the Pharisees as in any special way connected with synagogues.

In conclusion, it seems likely that the synagogue first arose in the Diaspora to meet the needs of communities without easy access to the temple. This was probably about the third century BCE. Synagogues served as places of prayer and/ or study, but would easily develop into some sort of central community institution. Only gradually did the filter into Palestine itself, where the temple was reasonably accessible. This is likely to have happened in the post-Maccabean period, perhaps in the first century BCE or even CE.

Source: 

The Oxford Handbook of Biblical Studies, Edited J.W. Rogerson & Ludith M Lieu, Oxford University Press,2006, hlm. 381-391”

Interaksi Edukatif Guru PAK

Pengertian
Mengajar bukan tugas yang ringan bagi guru konsekuensi tanggung jawab guru juga berat. Di kelas guru akan berhadapan dengan sekelompok anak didik dengan segala persamaan dan perbedaannya. Karena tugas guru yang berat itu, maka mereka berprofesi sebagai guru harus memiliki dan menguasai serta memahami interaksi edukatif terutama dari aspek alat material serta selalu aktif kreatif menerapkannya dalam kegiatan belajar mengajar. Guru yang efektif adalah guru yang mampu membawa siswanya dengan berhasil mencapai tujuan pengajaran. Mengajar di depan kelas merupakan perwujudan interaksi dalam proses komunikasi. Menurut Undang-undang Guru dan Dosen kompetensi sosial adalah “kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar”.[1]

Dalam menyampaikan bahan pengajaran terkadang kata-kata atau kalimat guru kurang mampu mewakili sesuatu objek yang diberikan. Sehingga mengaburkan tentang objek yang disampaikan. Apalagi objek yang disampaikan itu tidak pernah dikenal oleh anak didik.Dengan demikian, bentuk atau pola interaksi guru dapat menentukan keberhasilan kegiatan pembelajaran. Sebagaimana halnya seperti yang dikemukakan oleh Johnson seperti yang dikutip Anwar mengatakan bahwa kemampuan sosial mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu membawakan tugasnya sebagai guru.[2]Kemudian Arikunto mengemukakan kompetensi sosial mengharuskan guru memiliki kemampuan komunikasi sosial baik dengan peserta didik, sesama guru, kepala sekolah, pegawai tata usaha, bahkan dengan anggota masyarakat.[3]

Berdasarkan uraian di atas, kompetensi sosial guru tercermin melalui indikator:
  1. interaksi guru dengan siswa
  2. interaksi guru dengan kepala sekolah
  3. interaksi guru dengan rekan kerja
  4. interaksi guru dengan orang tua siswa
  5. interaksi guru dengan masyarakat
Sehubungan dengan hal di atas, maka dapat dipahami bahwa salah satu unsur kompetensi sosial yang harus diperhatikan guru adalah pola interaksinya dengan siswa. Untuk memahami maksud dalam tulisan ini tentang pola interaksi edukatif guru PAK, maka dalam tulisan ini akan diuraikan pengertian dari masing-masing kata sehubungan dengan judul tulisan.

Dalam Kamus lengkap Bahasa Indonesia, M. Ali menyatakan bahwa pola adalah gambar yang dibuat contoh / model.[4] Selanjutnya, Freeman dalam buku Tavri D. Mahyuzir, mengatakan bahwa Pola adalah suatu aktivitas yang menyangkut dan berhubungan dengan pengamblan keputusan-keputusan utama/pokok, dan seringkali dari sebuah susunan yang dialami yang terbagi atas hubungan timbal balik dari bagian-bagin ditingkatkan yang tertinggi dan operasi-operasi yang logis, yang rumit pada tingkatan yang terendah.[5] Hal ini berarti bahwa pola adalah bentuk dan pengerak informasi tentang metode-metode yang diambil dari pertimbangan bidang informasi.Jika dihubungkan dengan pola interaksi adalah bentuk-bentuk dalam proses terjadinya interaksi.

Sedangkan interaksi adalah adalah suatu jenis tindakan atau aksi yang terjadi sewaktu dua atau lebih objek memengaruhi atau memiliki efek satu sama lain. Ide efek dua arah ini penting dalam konsep interaksi, sebagai lawan dari hubungan satu arah pada sebab akibat.[6] Kemudian, Homans dalam Tulisan M. Ali, mendefinisikan interaksi sebagai suatu kejadian ketika suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang terhadap individu lain diberi ganjaran atau hukuman dengan menggunakan suatu tindakan oleh individu lain yang menjadi pasangannya.[7]Konsep ini mengandung pengertian bahwa interaksi adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam interaksi merupakan suatu stimulus bagi tindakan individu lain yang menjadi pasangannya.

Interaksi akan selalu berkait dengan istilah komunikasi atau hubungan dalam proses komunikasi, dikenal adanya unsur komunikan dan komunikator, hubungan antara komunikator dan komunikan biasanya karena mengintegrasikan sesuatu yang dikenal dengan istilah pesan (message) kemudian untuk menyampaikan pesan itu diperlukan adanya media atau saluran, jadi unsur-unsur yang terlibat dalam komunikasi itu adalah komunikator, komunikan, pesan dan saluran atau media begitu juga hubungan antara manusia satu dengan manusia lainnya empat usur terjadinya proses komunikasi itu akan selalu ada.

Dilihat dari istilah komunikasi yang berpangkal pada perkataan communicare berarti berpartisipasi, memberitahukan, menjadi milik bersama.[8]Dengan demikian secara konseptual arti komunikasi itu sendiri sudah mengandung pengertian memberitahukan berita, pengetahuan, pikiran-pikiran nilai-nilai yang dimaksud untuk menggugah partisipasi agar hal yang diberitahukan itu menjadi milik bersama. 

Jika dihubungkan dengan istilah interaksi edukatif sebernarnya komunikasi timbal balik antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, sudah mengandung maksud-maksud tertentu yakni untuk mencapai pengertian bersama yang kemudian untuk mencapai tujuan (dalam kegiatan belajar berarti untuk mencapai tujuan belajar). Memang dalam berbagai bentuk komunikasi yang sekedarnya mungkin tidak direncanakan sehingga tidak jelas arah dan tujuannya, hal inilah yang kadang-kadang sulit dikatakan sebagai interaksi edukatif, dan ini banyak terjadi dalam kehidupan manusia.

Dengan demikian interaksi yang dikatakan sebagai interaksi edukatif adalah apabila secara sadar mempunyai tujuan untuk mendidik, untuk mengantarkan anak didik kearah dewasaannya. Selain itu menurut Syaiful Bahri Djamarah, interaksi edukatif juga diartikan interaksi yang dengan sadar meletakkan tujuan untuk mengubah tingkah laku dan perbuatan seseorang, interaksi yang bernilai pendidikan ini dalam dunia pendidikan disebut sebagai interaksi edukatif.[9]

Dengan konsep yang diterangkan diatas memunculkan istilah guru di satu pihak dan murid dipihak lain, keduanya berada dalam interaksi edukatif dengan posisi, tugas dan tanggung jawab berbeda namun bersama-sama mencapai tujuan. Guru bertanggung jawab untuk mengantarkan anak didik kearah kedewasaan susila yang cakap dengan memberikan sejumlah ilmu pengetahuan dan membimbingnya, sedangkan anak didik berusaha untuk mencapai tujuan itu dengan bentuan dan pembinaan dari guru.

Interaksi edukatif adalah sebuah interaksi belajar mengajar, yaitusebuah proses interaksi yang menghimpun sejumlah nilai (norma) yang merupakan substansi sebagai medium antara guru dengan anak didik dalam rangka mencapai tujuan.[10]Dalam interaksi edukatif ada dua buah kegiatan yakni kegiatan guru di satu pihak dan kegiatan anak didik di lain pihak. Guru mengajar dengan gayanya sendiri dan anak didik belajar dengan gayanya sendiri. Guru tidak hanya mengajar, tetapi juga belajar memahami suasana psikologi anak didik dan kondisi kelas.Dalam mengajar, guru perlu memahami gaya-gaya belajar anak didik. Kerelevansian gaya-gaya mengajar guru dengan gaya-gaya belajar anak didik akan memudahkan guru menciptakan interaksi edukatif yang konsif. N.A Ametembun, mengatakan bahwa suatu interaksi yang harmonis terjadi bila dalam prosesnya tercipta keselarasn, keseimbangan, keserasian antara kedua komponen itu, yaitu guru dan anak didik.[11]

Banyak kegiatn yang harus guru lakukan dalam interaksi edukatif, diantaranya memahami prinsip-prinsip interaksi edukatif, menyiapkan bahan dan sumber belajar, memilih metode, alat, dan alat bantu pelajaran, memilih pendekatan, dan mengadakan evaluasi setelah akhir kegiatan pelajaran. Semua kegiatan yang di lakukan guru harus di dekati dengan pendekatan sistem. Sebab pengajaran adalah suatu sistem yang melibatkan sejumlah komponen pengajaran. Tidak ada satu pun dari komponen itu dapat guru abaikan dalam perencanaan pengajaran, karena semuanya saling terkait dan saling menunjang dalam rangka pencapaian tujuan pengajaran.

Menurut Syaiful Bahri Dajamarah, guru adalah alah satu unsur manusia lainnya adalah anak didik.[12]Guru dan anak didik berada dalam suatu relasi kejiwaan. Keduanya berada dalam interaksi edukatif dengan tugas dan peranan yang berbeda. Guru mengajar, mendidik dan anak didik yang belajar dengan menerima bahan pengajaran dari guru di kelas.

Indra Djati Sidi menjelaskan bahwa guru yang professional tidak hanya tampil sebagai pengajar (teacher) saja, melainkan juga sebagai pelatih (coach), pembimbing (counselor), dan manajer belajar (learning manajer).[13] Muhamad Surya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pelatih adalah guru memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi peserta didik untuk mengembangkan cara-cara pembelajarannya sendiri sebagai latihan untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan yang sehat. [14]

W. Gulo menjelaskan bahwa ada sepuluh kemampuan dasar bagi guru yang professional, yaitu 1) menguasai bahan, 2) mengelola program belajar mengajar, 3) mengelola kelas, 4) menggunakan media sumber belajar, 5) menguasai landasan pendidikan, 6) mengelola interaksi belajar mengajar, 7) menilai prestasi siswa untuk kependidikan pengajaran, 8) mengenal fungsi dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan, 9) mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, dan 10) memahami dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran.[15].

Depdiknas kompetensi dasar guru professional meliputi tiga komponen, yaitu:

  1. Komponen pengelolaan pembelajaran terdiri atas:
    • penyusunan rencana pembelajaran
    • pelaksanaan interaksi belajar mengajar
    • penilaian prestasi belajar peserta didik
    • pelaksanaan tindaklanjut hasil prestasi belajar peserta didik
  2. Komponen pengembangan potensi diri, terdiri atas:
    • pengembangan diri
    • pengembangan profesi
  3. Komponen penguasaan akademik, terdiri atas:
    • pemahaman wawasan pendidikan
    • penyusunan bahan kajian akademik.[16]
Kesalahan pengertian cendrung terjadi oleh anak didik. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalan tersebut menurut Syaiful Bahri Djamarah adalah guru perlu menghadirkan alat material atau benda-benda yang asli untuk menunjukkan model, gambar, benda tiruan atau menggunakan media lainnya. Seperti radio, tape recorder, televisi dan sebagainya.[17]Dengan penjelasan yang mendekati reatistik ditambah menghadirkan bendanya, maka guru membantu anak didik membentuk pengertian didalam jiwanya terhadap suatu objek. Dengan cara ini guru dapat lebih menggairahkan belajar anak didik dalam waktu yang relatif lama dan cara ini merupakan suatu usaha untuk memancing perhatian anak didik dan merangsangnya untuk berpikir. Dengan demikian otomatis pengaruh yang dirasakan oleh anak didik dikelas adalah ia menjadi berminat, lebih perhatian dan bergairah terus dalam belajar, sehingga hasil yang diharapkan oleh si anak akan lebih baik.Media sebagai alat bantu dalam proses belajar mengajar adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Guru sadar bahwa tanpa bantuan media, maka bahan pelajaran akan sulit untuk dicerna dan dipahami oleh setiap anak didik, terutama bahan pelajaran yang rumit dan kompleks.

Setiap materi memiliki tingkat kesukaran yang bervariasi, sehingga pada satu sisi ada bahan pelajaran yang tidak membutuhkan media sebagai alat bantu. Tetapi dilain pihak ada bahan pengajaran yang sangat memerlukan alat bantu berupa media pengajaran seperti globe, papan tulis, gambar, diagram slide, grafik video dan sebagainya.Bahan pengajaran dengan tingkat kesukaran yang tinggi tentu sukar diproses oleh anak didik. Apalagi siswa kurang berminat pada bahan pelajaran yang disampaikan.Anak didik cepat merasa bosan dan kelelahan, akibat penjelasan guru yang mungkin sukar dicerna dan dipahami. Guru yang bijaksana tentu sadar bahwa kebosanan dan kelelahan anak didik adalah berpangkal dari penjelasan yang diberi guru bersimpang siur, tidak ada fokus masalahnya. Hal ini tentu saja harus dicarikan jalan keluarnya.jika guru tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan suatu bahan dengan baik, apa salahnya jika menghadirkan media sebagai alat bantu pengajaran guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelum pelaksanaan pengajaran.

Proses interaksi edukatif adalah suatu proses yang mengandung sejumlah norma, semua norma itulah yang harus guru transfer kepada anak didik, karena itu wajarlah bila interaksi edukatif tidak berproses dalam kehampaan, tetapi dalam penuh makna, interaksi edukatif sebagai jembatan yang menghidupkan persenyawaan antara pengetahuan dan perbuatan, yang mengantarkan kepada tingkah laku sesuai dengan pengetahuan yang diterima anak didik.[18]

Dalam setiap bentuk interaksi  edukatif  mengandung dua unsur pokok; unsur  teknis dan unsur normatif . Dalam unsur normatif, antara guru ( sebagai pendidik), dan peserta didik harus berpegang pada norma yang diyakini bersama. Pendidikan sebagai kegiatan praktis yang berlangsung dalam suatu masa, terikat dalam situasi, terarah pada satu tujun. pristiwa ini adalah suatu rentetan kegiatan saling mempengaruhi, satu rangkaian  perubahan dan pertumbuhan serta perkembangan fungsi-fungsi psikis dan pisikdalam rangkaiannya tersebut pristiwa yang menuju kepada  pembentukan itu sendiri merupakan suatu proses teknis.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa interaksi edukatif adalah hubungan dua arah antara guru dan anak didik dengan sejumlah norma sebagai mediumnya untuk mencapai tujuan pendidikan. Interaksi edukatif adalah interaksi yang berlangsung dalam suatu ikatan untuk tujuan pendidikan dan pengajaran.Dalam artian yang lebih spesifik pada bidang pengajaran dikenal dengan istilah interaksi belajar mengajar.interaksi belajar mengajar mengandung  suatu arti adanya kegiatan interaksi dari pengajar yang melaksanakan tugas mengajar di suatu pihak dengan warga belajar (siswa, anak didik, subjek belajar) yang sedang melaksanakan kegiatan belajar dipihak lain.Interaksi edukatif harus menggambarkan hubungan aktif dua arah dengan sejumlah pengetahuan sebagai mediumnya, sehingga interaksi itu merupakan hubungan yang bermakna dan kreatif. Semua unsur interaksi harus berproses dalam ikatan tujuan pendidikan, karena itu, interaksi edukatif adalah sesuatu gambaran hubungan aktif dua arah antara guru dan anak didik yang berlangsung dalam ikatan tujuan pendidikan.

Ciri-ciri Interaksi Edukatif

Rohani Ahmmad dan Abu Ahmadimenyebutkan bahwa Interaksi Edukatif Guru memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Interaksi edukatif mempunyai tujuan.Tujuan dalam interaksi edukatif adalah membantu anak didik dalam suatu perkembangan tertentu, inilah yang dimaksud interaksi edukatif sadar akan tujuan, dengan menempatkan anak didik sebagai pusat perhatian, sedangkan unsur lainnya sebagai pengantar dan pendukung. 
  2. Interaksi edukatif memilki bahan/pesanyang menjadi isi interaksi atau sebuah materiDalam hal ini materi harus didesain sedemikian rupa dan disiapkan sebelum berlangsungnya interaksi edukatif sehingga cocok untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini perlu memperhatikan komponen-komponen pengajaran yang lain.
  3. Ditandai dengan pelajar atau peserta yang aktif. Sebagai konsekuensi bahwa anak didik merupakan sentral maka aktivitas anak didik merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya interaksi edukatif, aktivitas anak didik dalam hal ini baik secara fisik maupun mental aktif inilah yang sesuai dengan konsep Kurikulum.
  4. Guru berperan sebagai pembimbing. Guru berperan sebagai pembimbing dalam belajar, guru diharapkan mampu untuk mengenal dan memahami setiap siswa baik secara individu maupun kelompok, memberikan penerangan kepada siswa mengenai hal-hal yang diperlukan dalam proses belajar, memberikan kesempatan yang memadai agar setiap siswa dapat belajar sesuai dengan kemampuan pribadinya, membantu siswa dalam mengatasi masalah-masalah pribadi yang dihadapinya, menilai keberhasilan setiap langkah kegiatan yang telah dilakukannya. Dalam penerapannya sebagai pembimbing, guru harus berusaha menghidupkan dan memberikan motivasi agar terjadei proses interaksi edukatif yang kondusif. Guru harus siap sebagai mediator dalam segala situasi proses interaksi edukatif, sehingga guru merupakan tokoh yang akan dilihat dan ditiru tingkah lakunya oleh anak didik. 
  5. Memiliki metode tertentu dalam penyampaiannya untuk mencapai tujuan. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu dalam sistem berkelas (kelompok anak didik) batas waktu menjadi salah satu ciri yang tidak bisa ditinggalkan, setiap tujuan akan diberi waktu tertentu, kapan tujuan haris sudah tercapai.
  6. Mempunyai situasi yang memungkinkan proses belajar-mengajar berjalan dengan baik. Metode belajar adalah sistem penggunaan teknik-teknik didalam interaksi antara guru dan anak didik dalam progeram belajarmengajar sebagai proses pendidikan. Teknik yang dapat digunakan dalam interaksi dan komunikasi itu antara lain bermain, tanya jawab, ceramah, diskusi, peragaan, eksperimen, kerja kelompok, sosio drama, karya wisata dan modul.
  7. Interaksi diakhiri dengan Evaliuasi. Sebagai alat penilaian hasil pencapaian tujuan dalam pengajaran, evaluasi harus dilakukan secara terus menerus. Evaluasi tidak hanya sekedar menentukan angka keberhasilan belajar tetapi yang lebih penting adalah sebagai dasar untuk umpan balik (feed back) dari proses interaksi edukatif yang dilaksanakan.[19]
Sedangkan Edi Suardi dalam bukunya Pedagogik merinci ciri-ciri interaksi belajar mengajar sebagai berikut :

  1. Interaksi belajar mengajar memiliki tujuan, yakni untuk membantu anak dalam suatu perkembangan tertentu.
  2. Ada suatu prosedur (jalannya interaksi) yang direncana, didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
  3. Interaksi belajar mengajar ditandai dengan satu penggarapan materi yang khusus.
  4. Ditandai dengan adanya aktivitas siswa. Sebagai konsekuensi, bahwa siswa merupakan sentral, maka aktivitas siswa merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya interaksi belajar mengajar.
  5. Dalam interaksi belajar mengajar, guru berperan sebagai pembimbing.
  6. Di dalam interaksi belajar mengajar dibutuhkan disiplin.
  7. Ada batas waktu.
  8. Dalam kegiatan pengajaran, apa yang dikatakan interaksi edukatif  itu akan berlangsung dengan kegiatan interaksi belajar mengajar.[20]
Dengan demikian, berdasarkan uraian  di atas, terlihat bahwa interaki edukatif memiliki ciri-ciri : sadar tujuan, ada bahan/pesan, ada subjek didik/pengajar, ada guru, ada metode, ada situasi kondusif, ada penilaian.

Faktor-faktor  Interaksi Edukatif

Seperti yang dijelaskan oleh Syaiuful Bahri Djamarah, ada beberapa faktor yang mendasari terjadinya interaksi edukatif,diantaranya:
  1. Faktor Tujuan. Dalam tujuan pendidikan atau pengajaran yang brsifat umum atau khusus, umumnya berkisar pada tiga jenis, yaitu:
    • tujuan kognitif, yaitu tujuan yang berhubungan dengan pengertian dan pengatahuan
    • tujuan afektif, yaitu tuuan yang berhubungan dengan usaha merubah minat, setiap nilai dan alasan
    • tujuan psikomotoric, yaitu tujuan yang berkaitan dengan ketrampilan berbuat yang menggunakan telinga, tangan , mata, alat indra dan sebagainya.
  2. Faktor bahan/materi/isi. Bahan atau materi pengajaran harus tersusun dengan baik  sehingga dapat mempermudah anak didik mempelajarinya selain itu dapat memberikan gambaran yang jelas sebagai petunjuk dalam menetapkan metode pengajaran. Dalam menentukan materi harus didasarkan pada upaya pemenuhan tujuan pengajaran dengan begitu, pertimbangan penetapan metode atas dasar maeri tidak akan jauh berbeda hasilnya dengan dasar pertimbangan tujuan.
  3. Faktor guru dan peserta didik. Guru dan peserta didik adalah dua subjek dalam interaksi pengajaran. Guru sebagai pihak yang berinisiatif awal untuk menyelenggarakan pengajaran sedangkan peserta didik sebagai pihak yang mendapatkan manfaat dari proses pengajaran.ada bebeapa bidang yang dapat menunjang proses profesionalitas kerja guru, antara lain:
    • Guru harus mengenal peserta didik
    • Guru harus memiliki kecakapan memberi bimbingan
    • Guru harus memiliki dasar yang luas tentang tujuan pendidikan atau pengajaran
    • Guru harus memiliki pengetahuan yang dalam tentang ilmu yang diajarkan. Adapun bagi peserta didik ada beberapa hal yang pelu diperhatikan:
      • Peserta didik harus mendahulukan kesucian jiwa.
      • Peserta didik harus rajin untuk menuntut ilmu, bersedia untuk mencurahkan tenaga, jiwa dan pikiran serta minat dalam berkonsentrasi pada ilmu yag dipelajarinya
      • Tidak sombong atas ilmu yang diperolehnya
      • Peserta didik harus mengetahui kedudukan ilmu yang dipelajarinya
  4. Faktor metode. Metode suatu cara kerja yang sistematik dan umum, yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Semakin baik suatu metode semakin baik dan efektif dalam mencapai tujuan. Dalam penerapan suatu metode pengajaran harus memiliki  relevansi diantaranya:
    • Relevansi dengan tujuan
    • Relevansi dengan bahan/ materi
    • Relevansi dengan kemampuan guru
    • Relevansi dengan keadaan pesert didik
    • Relevansi dengan situasi pengajarar.
  5. Faktor Situasi. Yang disebut situasi adalah suasana belajar atau suasana kelas pengajaran termasuk disini adalah keadaan peserta didik keadaaan cuaca, keadaan guru dan keadaan kelas diantara keadaan tersebut ada yang dapat diperhitungkan dan ada yang tidak dapat diperhitungkan terhadap situasi yang dapat diperhitungkan guru dpat menyediakan alternatif metode-metode mengajar menurut perhitungan perubahan situasi.adapun situasi yangtidak dapat diperhitungkan yang disebabkan oleh perubahan yang mendadak atau tiba-tiba diperlukan kecekatan dalam mengambil keputusan terhdap metode yang digunakan.
  6. Faktor Sumber Pelajaran. Sumber belajar sesungguhnya banyak sekali. Pemanfaatan sumber-sumber pengajaran tersebut tergantung pada kreativitas guru, waktu, biaya serta kebijakan-kebijakan lainnya. Interaksi edukatif tidaklah berproses dalam kehampaan, tetapi ia berproses dalam kemaknaan. Didalamnya ada sejumlah nilai yang disampaikan kepada anak didik . Nilai-nilai itu tidak datang dengan sendirinya, tetapi diambil dari berbagai sumber guna dipakai dalam proses interaksi edukatif.
  7. Faktor Alat dan Peralatan. Alat dan peralatan adalah segala sesuatu yang dapat digunakan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Alat tidak hanya sebagai pelengkap, tetapi juga sebagai pembantu mempermudah usaha mencapai tujuan. Alat dapat dibagi menjadi dua yaitu :\
    • Alat Nonmaterial, yang terdiri dari suruhan , perintah , larangan, nasihat dan sebagainya\
    • Alat material, yang  dapat berupa globe, papan tulis, batu kapur, gambar, diagram, lukisan, slide dan sebagainya.
  8. Faktor Evaluasi. Evaluasi adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan data tentang sejauh mana keberhasilan anak didik dalam belajar dan keberhasilan guru dalam mengajar. Evaluasi dapat dilakukan oleh guru dengan memakai seperangkat istrumen penggali data seperti tes perbuatan, tes tertulis dan tes lisan. Tujuan evaluasi sendiri untuk:
    • mengumpulkan data-data yang membuktikan taraf kemajuan anak didik dalam mencapai tujuan yang diharapkan.
    • memungkinkan guru menilai aktifitas/pengalaman yang didapat dan menilai metode mengajar yang dipergunakan.
Proses Interaksi Edukatif

Menurut R D Cornersseperti yang dikutip oleh Abu Ahmadi dan Shuyadi,proses terjadinya interkasi edukatif guru dapat dibagi dalam tiga tahapan, yaitu:
  1. Tahap Sebelum Pengajaran. Dalam tahap ini guru harus menyusun program tahunan pelaksanaan kurikulum, program semester, program satuan pelajaran (satpel), dan perencanaan program pengajaran. Dalam merencanakan program-program tersebut di atas perlu dipertimbangkan aspek-aspek yang berkaitan dengan:
    • Bekal bawaan anak didik
    • Perumusan tujuan pembelajaran
    • Pemilihan metode
    • Pemilihan pengalaman – pengalaman belajar
    • Pemilihan bahan dan peralatan belajar
    • Mempertimbangkan jumlah dan karakteristik anak didik
    • Mempertimbangkan jumlah jam pelajaran yang tersedia
    • Mempertimbangkan pola pengelompokan
    • Mempertimbangkan prinsip – prinsip belajar
  2. Tahap Pengajaran. Dalam tahap ini berlangsung  beberapa interaksi , yaitu: { interaksi antara guru dengan anak didik},{ anak didik dengan anak didik}, {anak didik dalam kelompok} atau {anak didik secara individual}. Tahap ini merupakan tahap pelaksanaan apa yang telah direncanakan. Ada beberapa aspek yang perlu di pertimbangkan dalam tahap pengajaran ini, yaitu :
    • Pengelolaan dan pengendalian kelas
    • Penyampaian informasi
    • Penggunaan tingkah laku verbal non verbal
    • Merangsang tanggapan balik dari anak didik
    •  Mempertimbangkan prinsip – prinsip belajar
    • Mendiagnosis kesulitan belajar
    • Memperimbangkan perbedaan individual
    •  Mengevaluasi kegiatan interaksi
  3. Tahap Sesudah Pengajaran. Tahap ini merupakan kegiatan atau perbuatan setelah pertemuan tatap muka dengan anak didik. Beberapa perbuatan guru yang dilakukan pada tahap sesudah mengajar, antara lain:
    • Menilai Pekerjaan anak didik
    •  Menilai pengajaran guru
    • Membuat perencanaan untuk pertemuan berikutnya.[21]
Bentuk Pola Interaksi Edukatif Guru PAK

Model yang sering dipergunakan untuk mengidentifikasikan dan mengukur variabel interaksi guru-siswa adalah model CHoen dengan dua katagori, yaitu (1) kontak dominasi, dan (2) kontak Integrasi.[22]  Kontak integrasi juga berkaitan dengan reaksi posituf dari guru terhadap ekspresi intelektual emosional siswa.[23]Interaksi guru dengan siswa di kelas akan menunjukkan dominasi, jika tingkah laku guru mendominasi atau kurang memberi kesempatan beriteraksi atas inisiatif siswa. Interaksi integrasi terjadi, jika siswa lebih banyak terlibat interaksi belajar-mengajar atas inisiatif siswa. Di dalam model ini, interaksi dominasi dikatagorikan menjadi 3 sub. Katagori tingkah laku dominan dan interaksi dikatagorikan menjadi 2 sub kategori tingkah laku. Kategori-kategori itu adalah  dominasi dan timbul konflik, dominasi tanpa konflik, dominasi dan kerja sama, Integrasi tanpa kerja sama, Integrasi dan kerja sama.

Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, pola interaksi itu dapat ditandai dengan peranannya dengan aktifitas belajar siswa, seperti:
  1. Guru sebagai guru: pekerjaan utama guru adalah mengajar dan mendidik murid, yang berusaha agar semua muridnya mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang diajarkan dengan baik.
  2. Guru sebagai orang tua: tempat mencurahkan segala perasaan murid, tempat mengadu murid ketika mengalami gangguan. Murid merasa aman dan nyaman ketika dekat dengan guru, bahkan merasa rindu jika tidak bertemu guru. Interaksi guru dan murid bagaikan hubungan orang tua dan anak, hangat, akrab, harmonis, dan tulus.
  3. Guru sebagai teman sejawat: sebagai pasangan untuk berbagai pengalaman dan beradu argumentasi dalam diskusi secara informal. Guru tidak merasa direndahkan jika murid tidak sependapat, atau memang pendapat murid yang benar, dan menerima saran murid yang masuk akal. Hubungan guru dan murid mengutamakan nilai-nilai demokratis dalam proses pembelajaran.
Landasan Teologis Pola Interaksi Edukatif Guru PAK

Alkitab adalah sumber pengajaran mutlak bagi guru PAK. Karenanya Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru juga menyediakan contoh-contoh bagaimana cara dan pola interaksi dengan orang lain. Bahkan Allah sendiri melakukan interaksi dengan orang-orang pilihan-Nya. Seperti contoh, Allah juga pernah berbicara dengan Adam, Nuh, Musa, Abraham, Ishak, Yakub, Yusuf, dan banyak Nabi lainnya dalam Alkitab. Bahkan dengan Yesus sendiri Allah perna melakukan interaksi. Sebagai contoh bentuk-bentuk interaksi itu dapat dilihat pada ayat berikut:
Pada waktu pembaptisan Yesus, sang Bapa bersabda kepadaNya: "Engkaulah Anak yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan" (Luk. 3:22; Mrk. 1:11). Ucapan-ucapan ketika Yesus dipermuliakan (Mrk. 9:7; Luk. 9:35) tampaknya bukan ditujukan kepada Kristus sendiri, melainkan kepada murid-murid. [Dalam kisah Matius tentang pembaptisan itu digunakan bentuk yang sama (Mat. 3:17).] Tetapi, apa pun bentuk komunikasi Yesus dengan sang Bapa, itu sama sekali berbeda dengan yang dimiliki manusia. Tidak seorang pun dapat mengatakan, seperti yang Dia katakan, "Aku dan Bapa adalah satu" (Yoh. 10:30), atau yang lebih mengejutkan, "Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa" (Yoh. 14:9).[24]  
Selanjutnya, dalam hal pengajaran, Yesus juga menggunakan pola interaksi edukatif yang berbeda-beda dalam hal pengajaran-Nya. Dalam sebagian kasus, Yesus menggunakan perumpamaan untu k mengajar murid-murid-Nya. Sebaliknya dalam kasus lain, Yesus juga berbicara dengan tegas, serta menggunakan berbagai media untuk menarik perhatian pendengar dan sekaligus menyampaikan maksud-Nya.

Dari uraian ini, dapat ditarik garis besar dari interaksi Yesus dengan manusia atau pendengar-Nya. Pertama, InteraksiYesus menjadi satu dengan ajaranNya. Yesus mengajarkan orang-orang mengunakan berbagai perumpamaan sederhana sesuai dengan kondisi masyarakat saat itu. Ia menggunakan perumpamaan seperti gembala, kebun anggur, nelayan, dan sebagainya. Perumpamaan-perumpamaan itu mungkin kelihatan sederhana, namun memiliki makna yang sangat dalam. Banyak ahli-ahli saat ini masih terus mengalami kesulitan untuk membuat interpretasi sebenarnya dari apa yang dimaksud oleh Yesus. Karena perumpamaan-perumpamaan itu memiliki makna yang jelas bagi orang sederhana tetapi juga memiliki makna yang makin dalam bila mulai diinterpretasi oleh-oleh para ahli. Makin didalami perumpamaan itu, makin kaya makna yang tersirat di dalamnya, sehingga memukau mereka yang mencoba mendalaminya. Kedua, Yesus menggunakan perumpamaan sebagai alat belajar. Perumpamaan tentang Anak Hilang mengajarkan kepada kita kasih Allah yang tanpa syarat. Allah mengasihi kita tanpa memandang perbuatan masa lalu kita. Ia mengasihi kita bila kita mau datang kepadanya. Perumpamaan tentang Harta Terpendam mengajarkan kepada kita tentang kegembiraan menemukan sesuatu yang terpenting.[25]

Source: 
Dari berbagai Sumber [ada pada Penulis]