Pada topik pertama dari materi yang akan
dibahas dalam tulisan ini akan dibicarakan terlebih dahulu beberapa hal yang
berkaitan dengan etika terapan (applied ethic). Alasannya, karena sebagian
besar dari materi yang dibahas dalam
buku ini merupakan bahan-bahan pembahasan dari etika terapan. Istilah “etika
terapan” kedengarannya agak baru, tapi isinya bukanlah sesuatu baru sama sekali
dalam sejarah filsafat moral. Sudah sejak Plato dan Aristoteles (filsuf Yunani
Kuno) terdapat penekanan yang jelas bahwa etika merupakan filsafat praktis yang
ingin memberikan penyuluhan kepada tingkah laku manusia, dengan memperlihatkan
apa yang harus dan tidak boleh dilakukan. Dalam abad pertengahan Thomas Aquinas
melanjutkan tradisi filsafat praktis ini dengan menerapkannya dibidang teologi
moral. Demikian juga dalam
dunia modern, orientasi praktis dan etika berlangsung terus. Pada awal zaman
modern muncul etika khusus (ethica spesialis, yang membahas masalah etis
tentang suatu bidang tertentu, seperti keluarga dan negara. Etika terapan yang kita kenal sekarang sebenarnya tidak lain dari etika khusus itu,
yang bermaksud menyorot hal-hal praktis kehidupan manusia. Situasi yang telah
berlangsung dalam waktu yang cukup lama tersebut justru mengalami perubahan
selama enam dasawarsa pertama abad ke-20. Pada masa-masa itu sifat praktis dari
etika hampir terlupakan, Namun sejak tahun 1960-an situasinya berubah,
perhatian pada etika kembali mendapat tempat penting. Bahkan sekarang dapat
dikatakan bahwa filsafat moral, khususnya dalam bentuk etika terapan, mengalami
masa suatu kejayaan.
A. Penjernihan Istilah
1. Etika dan Moral
Kata” etika” berasal dari bahasa Yunani kuno
“ethos”, yang berarti: adat kebiasaan, cara berpikit; akhlak, sikap, watak,
cara bertindak.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988, menjelaskan
pengertian etika dengan membedakan tiga arti yakni:
1). Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk
dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
2). Kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan
akhlak;
3). Nilai mengenai benar dan salah, yang dianut
suatu golongan masyarakat.
Dengan pembedaan tiga pengertian tersebut maka kita mendapatkan
pengertian yang lebih lengkap mengenai apa itu etika, sekaligus kita lebih
mampu memahami pengertian etika yang
seringkali muncul dalam pembicaraan sehari-hari, baik secara lisan maupun yang
tertulis diberbagai media.
Kata “moral” memiliki arti etimologis sama dengan etika, dan dapat
kita artikan sama dengan pengertian pertama dari etika tadi, yakni nilai-nilai
dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang
dalam mengatur tingkah lakunya.
Arti pertama dari ”etika” adalah lebih dalam arti “moral” yakni sitem nilai yang merupakan
pegangan atau pedoman tingkah laku baik dan buruk. Etika baru menjadi ilmu bila
kemungkinan-kemungkinan etis (azas-azas dan nilai-nilai tentang yang dianggap
baik dan buruk) , yang begitu saja diterima dalam masyarakat-yang seringkali
tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan methodis.
Dalam arti ini etika sama dengan filsafat moral. Kuliah etika adalah suatu
studi sistematis dan metodis tentang moralitas, suatu pembahasan filosofis
tentang ajaran-ajaran moral. Jadi etika sebagai ilmu menginginkan pemahaman
rasional tentang mengapa sesuatu disebut baik atau buruk secara moral.
2. Etika dan Etiket
Dalam pembicaran sehari-hari, baik secara lisan maupun tertulis, seringkali kita dengar kata etika dan
Dalam pembicaran sehari-hari, baik secara lisan maupun tertulis, seringkali kita dengar kata etika dan
etiket dicampuradukkan begitu saja.
Mungkin karena kedua kata ini hampir sama, maka dalam
pemakaian sehari-hari
sering keduanya dimengerti sama, padahal antar keduanya terdapat perbedaan
\
sangat mendasar. Etika bukanlah sekedar etiket. Etika adalah menyangkut moral,
sedangkan etiket
menyangkut sopan santun atau tata krama.Walaupun terdapat persamaan arti antara etika dan
etiket,
namun terdapat juga perbedaan mendasar antara keduanya:
- Etiket menyangkut cara suatu perbuatan dilakukan, sedangkan etika menyangkut masalah apakah suat memperhatikan cara yang tepat, yang sesuai dengan kebiasaan dalam kalangan tertentu. Umpamanya, kalau kita menyerahkan sesuatu kepada orang lain, kita hendaknya menyerahkan dengan tangan kanan. Kita melanggar etiket apabila kita menyerahkan dengan tangan kiri. Beda dengan etiket, etika tidak hanya sekedar menyangkut cara suatu perbuatan hendak dilakukan. Etika menegaskan sesuatau tentang perbuatan itu sendiri, bahwa suatu perbuatan harus atau tidak boleh dilakukan. Mengembalikan barang pinjaman adalah sesuatu yang harus, dan ini adalah masalah etika: sedang cara bagaimana mengembalikan barang pinjaman itu adalah masalah etiket.
- Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, sedangkan etika tetap berlaku, dengan atau tanpa kehadiran orang lain. Etiket hanya berlaku atau perlu diperhatikan apabila ada orang lain yang menyaksikan atau dapat melihat perbuatan kita.
- Etiket bersifat relatif, sedangkan etika lebih bersifat absolut. Etiket bersifat kedaerahan, di mana hal-hal yang dianggap tidak sopan di suatu daerah bias saja dianggap sopan di daerah lain. Memanggil orang tua dengan menyebut nama aslinya bias sangat tidak sopan disuatu daerah, sedangkan di daerah atau kebudayaan lain malah dianggap sebagi ungkapan rasa hormat dan keakraban. Etika tidak demikian. Nortma-norma seperti, jangan membunuh atau mencuri merupakan prisnsip etika yang berlaku umum.
- Etiket lebuh pada penampilan lahiriah, sedangkan etika lebih pada penampilan rohaniah atau batiniah. Kita mengenal ungkapan “etiket bertelepon”, “etiket menerima tamu” dan sebagainya. Etika tidak terutama memperhatikan bahkan sama sekali tidak memperhatikan segi-segi lahiriah seperti itu, melainkan motif atau maksud yang melandasi tindakan etis.
Dengan perbedaan-perbedaan penting diatas maka sering
cukup fatal apabila begitu saja hal-hal yang sebenarnya merupakan lingkup
ettika dimasukkan saja dalam lingkungan etiket; dan sebaliknya. Orang yang
sebenarnya telah melanggar etika atau hanya sebagai pelanggaran etiket,
dianggap sebagai pelanggaran etika.
B. Peranan Etika dalam Dunia
Modern
1. Adanya pluralisme moral
Adalah suatu kenyataan sekarang ini bahwa kita
hidup dalam zaman yang semakin pluralistik, tidak terkecuali dalam hal
moralitas. Setiap hari kita bertemu dengan orang-orang dari suku, daerah
lapisan social dan agama yang berbeda. Pertemuan ini semakin diperbanyak dan
diperluas oleh kemajuan yang telah dicapai dalam dunia tekhnologi infomasi,
yang telah mengalami perkembangan sangat pesat. Dalam pertemuan langsung dan
tidak langsung dengan berbagai lapisan dan kelompok masyarakat kita menyaksikan
atau berhadapan dengan pelbagai pandangan dan sikap yang, selain memiliki
banyak kesamaan, memiliki juga banyak perbedaan bahkan pertentangan.
Masing-masing pandangan mengklaim diri sebagai pandangan yang paling benar dan
sah. Kita mengalaminya sepertinya kesatuan tatanan normtif sudah tidak ada
lagi. Berhadapan dengan situasi, semacam in, kita akhirnya bertanya, tapi yang
kita tanyakan bukan hanya apa yang merupakan kewajibanm kita dan apa yang tidak,
melainkan manakah norma-norma untuk menentukan apa yang harus dianggap sebagai
kewajiban.
2. Timbulnya masalah-masalah etis baru.
Ciri lain yang menandai zaman kita adalah timbul
masalah-masalh etis baru, terutama yang disebabkan perkembangan pesat dalam
ilmu pengetahuan dan tekhnologi khusunya ilmu-ilmu biomedis. Telah terjadi manipulasi genetis, yakni
campur tangan manusia atas perkembangbiakan gen-gen manusia. Masalah cloning
dan penciptaan manusia super sangatlah mengandung masalah-masalah etis seru
dalam kehidupan manusia. Bagaimana sikap kita menghadapi perkembangan seperti
ini? Disinilah kajian pertanggungjawaban etika diperlukan.
3. Munculnya kepedulian etis yang semakin
universal.
Ciri berikutnya yang menandai zaman kita adalah
adanya suatu kepedulian etis yang semakin univeral. Diberbagai tempat atau
wilayah di dunia kita menyaksikan gerakan perjuangan moral untuk
masalah-masalah bersama umat manusia. Selain pergerakak-pergerakan perjuangan
moral yang terorganisir seperti dalam bentuk kerjasama antar Lembaga-lembaga
Swadaya Masyarakat, antar Dewan Perwakilan Rakyat dari beberapa negara atau
Serikat-serikat Buruh, dan sebagainya, juga kita dapat menyaksikan adanya suatu
kesadaran moral universal yang tidak terorganisir tapi terasa hidup dan
berkembang dimana-mana. Ungkapan-ungkapan kepedulian etis yang semakin
berkembang ini tidaklah mungkin terjadi tanpa di latarbelakangi oleh kesadaran
moral yang universal. Gejala yang paling mencolok tentang kepedulian etis
adalah Deklarasi Universal tentang Hak-hak Azasi Manusia, Yang diproklamirkan
oleh Persatuan Bangsa Bangsa (UNO) pada 10 Desember 1948. Dengan kepedulian
etis yang universal ini, maka pluralisme moral pada bagian pertama diatas dapat
menjadi persoalan tersendiri.
4. Hantaman gelombang modernisasi
Kita sekarang ini hidup dalam masa transformasi
masyarakat yang tanpa tanding. Perubahan yang terus terjadi itu muncul dibawah
hantaman kekuatan yang mengenai semua segi kehidupan kita, yaitu gelombang
modernisasi. Yang dimaksud gelombang modernisasi disini bukan hanya menyangkut
barang atau peralatan yang diproduksi semakin canggih, melainkan juga dalam hal
cara berpikir yang telah berubah secara radikal. Ada banyak cara berpikir yang
berkembnag, sepeti rasionalisme, individualisme, nasionalisme,
sekularisme,materialisme, konsumerisme, pluralisme religius, serta cara
berpikir dan pendidikan modern yang telah banyak mengubah lingkungan budaya,
social dan rohani masyarakat kita.
5. Tawaran berbagai ideologi
Proses perubahan social budaya dan moral yang
terus terjadi, tidak jarang telah nmembawa kebingungan bagi banyak orang atau
kelompok orang. Banyak orang merasa kehilangan pegangan, dan tidak tahu harus
berbuat atau memilih apa. Situasi seperti ini tidak jarang dimanfaatkan oleh
berbagai pihak untuk menawarkan ideology-ideologi mereka sebagai jawaban atas
kebingungan tadi. Ada cukup bsnysk orsng ysng terombang-ambing mengikuti
tawaran yang masing-masing mempunyai daya tarik sendiri itu. Disini etika dapat
membantu orang untuk sanggup menghadapi secara kritis dan objektif berbagai
ideology yang muncul. Pemikiran kritis dapat membantu untuk membuat penilaian
rasional dan objektif, dan tidak mudah terpancing oleh berbagai alas an yang
tidak mendasar. Sikap kritis yang dimaksud disini, bukan suatu sikap yang
begitu saja menolak ide-ide baru atau juga begitu saja menerimanya, melainkan
melakukan penilaian kritis untuk memahami sejauh mana ide-ide baru itu dapat
diterima dan sejauh mana harus dengan tegas ditolak.
6. Tawaran bagi agamawan
Etika juga diperlukan oleh para agamawan untuk
tidak menutup diri terhadap persoalan-persoalan praktis kehidupan umat manusia.
Di satu pihak agama menemukan dasar kemantapan mereka dalam iman kepercayaan
mereka, namun sekaligus diharapkan juga mau berpartisipasi tanpa takut-takut
dan menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang mengalami
perubahan hampir disegala bidang. Walau etika tidak dapat menggantikan agama,
namun etika tidaklah bertentangan dengan agama, dan bahwa agama memerlukan
etika. Alasan yang bias dikemukan bagi pentingnya etika untuk agama adalah, pertama:
masalah interprestasi terhadap perintah atau hukum yang termuat dalam wahyu
Tuhan, terutama seperti tertuang dalam kitab suci keagamaan. Banyak ahli agama,
bahkan seagama sekalipun, sering berbeda pendapat tentang apa yang sebenarnya
mau diungkapkan dalam wahyu itu. Kedua: mengenai masalah-masalah moral yang
baru, yang tidak langsung dibahas dalam wahyu itu sendiri. Bagaimana
menanggapinya dari segi agama masalah-masalah moral yang pada waktu wahyu
diterima belum dipikirkan. Untuk mengambil sikap yang dapat dipertanggung jawabkan
terhadap masalah-masalah yang timbul kemudian, diperlukan etika. Disini etika
dapat dimengerti sebagai usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya
pikirnya yang rasional untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau
ia mau menjadi baik. Usaha seperti ini tidak bertentangan dengan iman karena
akal budi juga merupakan anugerah besar dari sang Pencipta kepada umat manusia.
C. Munculnya Etika Terapan
1. Muncul dari kepedulian etis yang mendalam
Sudah dalam waktu yang lama etika tampil dalam
bentuk etika umum, yang membahas secara teoritis-filosofis perihal
baik-buruknya perbuatan manusia dari sudut pandang etis. Akan tetapi, kira-kira
empat dasawarsa terakhir perhatian terhadap filsafat moral (etika) berubah
drastis. Etika tampil dalam
bentuk etika terapan atau kadang disebut filsafat terapan. Pada awal abad
20, di kawasan berbahasa inggris,
khususnya di United Kingdom dan Amerika Serikat etika dipraktekkan
sebagai”metaetika”. Ini adalah suatu aliran dalam filsafat moral yang tidak
menyelidiki baik buruknya perbuatan manusia, melainkan “bahasa moral” atau
ungkapan-ungkapan manusia tentang baik dan buruk. Aliran meta etika merupakan filsafat moral yang mendominasi enam decade
pertama abad ke-20. Baru mulai akhir 1960-an terlihat
suatu tendensi lain. Timbul perhatian yang semakin besar terhadap etika. Sekitar saat itu etika mulai meminati
masalah-masalah etis yang konkrit. Etika turun dari tempatnya yang tinggi, dan
mulai membumi. Perubahan tersebut dapat dikatakan dipicu oleh beberapa factor
yang timbul serentak. Diantara beberapa factor itu dapat disebut faktor penting
pertama adalah perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan
tekhnologi, khususnya dalam sector ilmu-ilmu biomedis. Perkembangan pesat
bidang ini telah menimbulkan banyak persoalan etis yang besar. Faktor penting kedua
adalah terciptanya semacam “iklim moral” yang mengundang minat baru untuk
etika. Iklim baru yang dimaksud berupa munculnya gerakan hak diberbagai bidang,
yang secara khusus telah mengundang peran actual dari etika itu sendiri.
2. Gambaran keseriusan perhatian pada etika
terapan
Dalam sejarah perjalanan etika atau filsafat
moral, dapat dikatakan bahwa belum pernah ada perhatian yang begitu besar
terhadap etika seperti halnya sekarang
ini. Sekedar memberikan gambaran besarnya perhatian tersebut, disini dituliskan
beberapa fakta yang ada:
- Di banyak tempat diseluruh dunia setiap tahun diadakan kongres dan seminar tentang masalah-masalah etis.
- Telah didirikan cukup banyak institut, di dalam maupun di luar kalangan perguruan tinggi, yang khusus mempelajari persoalan-persoalan moral, kerap kali dalam kaitan dengan bidang ilmiah tertentu (ilmu kedokteran, hukum, ekonomi atau yang lainnya)
- Terutama di Amerika Serikat, etika dalam salah satu bentuk sering kali dimasukkan dalam kurikulum di Perguruan Tinggi.
- Membanjirnya publikasi mengenai etika terapan yang tidak pernah terpikirkan beberapa dekade yang lalu. Ada cukup banyak majalah ilmiah yang membahas salah satu aspek etika terapan. Seperti: Philosophy and Publik Affairs, Journal of Medical Ethics dll.
- Pada dekade-dekade terakhir ini tidak jarang jasa ahli etika diminta untuk mempelajari masalah-masalah yang berimplikasi moral.
3. Kaitan etika terapan dengan etika umum
Penampilan baru etika dalam bentuk etika terapan
sekarang ini mempunyai konsekuensi juga untuk etika teoretis atau etika umum.
Perdebatan tentang masalah-masalah kongkrit akhirnya akan memperjelas, menguji
dan mempertajam juga prinsip-prinsip moral yang umum. Perjumpaan dengan praktek
akan memberikan banyak masukan berharga yang dapat dimanfaatkan oleh refleksi
etika teoritis. Sebaliknya, etika terapan sangat membutuhkan bantuan dari teori
etika, sebagai pegangan baginya dalam memasuki pergumulan dengan
masalah-masalah praktis. Disini ia mempergunakan prinsip-prinsip dan teori
moral yang diharapkan sudah mempunyai
dasar yang kukuh. Apa yang dihasilkan oleh etika terapan tidaklah bias
diandalkan kalau teori etika yang ada dibelakangnya tidak berbobot dan bermutu.
D. Bidang Garapan Etika Terapan
1. Dua wilayah besar yang disoroti etika terapan
Dua wilayah besar yang disoroti atau mendapat
perhatian khusus dan serius di dalamnya, yakni wilayah profesi dan wilayah
masalah. Etika kedokteran, etika politik, etika bisnis, dan sebagainya,
merupakan wilayah profesi. Penggunaan tenaga nuklir, pembuatan, pemilikan,
penggunaan senjata nuklir, pencemaran lingkungan hidup, diskriminasi ras
merupakan wilayah masalah. Cabang etika terapan yang paling banyak mendapat
perhatian dalam zaman kita sekarang ini dapat disebut dari sudut/wilayah
profesi, yakni: etika kedokteran dan etika bisnis. Dari wilayah masalah masalah
dapat disebut: etika tentang perang dan damai dan etika lingkungan hidup.
2. Pembagian ke dalam makroetika dan mikroetika
Cara lain untuk membagikan etika terapan adalah
dengan membedakan antara makroetika dan mikroetika. Makroetika membahas
masalah-masalah moral pada skala besar. Suatu masalah disebut makroetika
apabila masalah itu menyangkut suatu bangsa seluruhnya abahn seluruh umat
manusia. Ekonomi dan keadilan; lingkungan hidup, dan alokasi sarana-sarana
pelayanan kesehatan dapat digolongkan sebagai contoh-contoh dari makroetika.
Mikroetika membicarakan pertanyaan-pertanyaan etis dimana individu terlibat,
seperti kewajiban dokter terhadap pasiennya atau kewajiban pengacara terhadap
kliennya. Kadang diantara makroetika dan mikroetika disisipkan lagi jenis etika
terapan yang ketiga, yang disebut mesoetika (meso=madya), yang menyoroti
masalah-masalah etis yang berkaitan dengan suatu kelompok atau profesi, seperti
kelompok ilmuwan, profesi wartawan, pengacara dan sebagainya.
3. pembagian ke dalam etika individual dan etika
social.
Pembagian lain etika terapan adalah pembedaan antara
etika individual dan etika social. Etka individual membahas kewajiban manusia
terhadap dirinya sendiri, sedangkan etika social membahas kewajiban manusia
sebagai anggota masyarakat. Namun pembagian ini banyak diragukan relevansinya,
karena manusia peroranganpun selalu adalah mahluk social, sehingga tidak bias
dibedakan antara etika semata-mata individual dan etika yang semata-mata sosial.
E. Pendekatan Etika Terapan
Etika terapan mesti bekerjasama dengan
disiplin-disiplin ilmu-ilmu lain. Kerjasama ini mutlak diperlukan, karena dia
harus membentuk pertimbangan tentang bidang-bidang yang sama sekali diluar
keahliannya. Seorang etikawan akan sulit baginya memberikan pertimbangan moral
yang dapat dipertanggungjawabkan untuk suatu masalah medis yang sama sekali
tidak dimengertinya dengan baik. Dia membutuhkan penjelasan atau ulasan yang
memadai dan lengkap mengenai pilihan-pilihan tindakan medis beserta berbagai
argumen dibelakangnya. Dan ini hanya akan diperoleh dari pihak-pihak yang
berkompeten dalam bidang itu.
1. Pendekatan multidisipliner
Perlu dibedakan antara pendekatan multidisipliner
dan pendekatan interdisipliner. Keduanya sama-sama merupakan pendekatan yang
membuka pemahaman yang lebih luas dan mendalam atas suatu masalah yang sedang
dihadapi. Pendekatan multidisipliner adalah usaha pembahasan tentang tema yang
sama oleh pelbagai ilmu, sehingga semua ilmu itu memberikan sumbangannya yang
satu disamping yang lain. Setiap ilmuwan dari satu disiplin ilmu akan berusaha
memberi penjelasan yang dapat dipahami juga oleh ilmuwan dari bidang lain.
Multidisipliner merupakan usaha menyoroti suatu masalah tertentu dari berbagai
seginya. Dalam melakukan hal ini perspektif setiap ilmu tetap dipertahankan dan
tidak harus melebur dengan perspektif ilmiah yang lainnya. Disini tidak
tercapai suatu pandangan terpadu, yang memang tidak dimaksudkan disini. Yang
dihasilkan hanyalah pendekatan dari berbagai arah yang dipusatkan pada tema
yang sama. Sedangkan pendekatan Indisipliner dijalankan dengan lintas disiplin
dimana semua ilmu yang ikut serta meninggalkan pandangan yang menyeluruh. Hasil
yang diperoleh dari kerjasama ini adalah
suatu produk yang melampaui segi ilmiah masing-masing peserta. Dalam
kenyataannya inter disiopliner agak sulit dilaksanakan. Dan walaupun pendekatan
multidisipliner juga bukan hal yang tidak sulit namun pendekatan itu lebih
realistis dilaksanakan.
2. Pentingnya pendekatan kasuistik
Pendekatan kasuistik yang dimaksud adalah usaha
memecahkan kasus-kasus konkrit dibidang moral dengan menerapkan prinsip-prinsip
etika umum . Pembahasan kasus merupakan cara yang sangat cocok dalam etika
terapan, dan mengungkapkan sesuatu tentang kekhususan argumentasi dalam etika.
Pendekatan kasuistik diakui sebagai metode yang efisien untuk mencapai
kesepakatan di bidang moral. Biasanya, kalau dimulai dari teori akan sulit
mencapai suatu kesepakatan. Penalaran moral memang berbeda dengan penalaran
matematis, yang selalu dilkukan dengan cara yang sama, kapan saja dan dimana
saja, tak terpengaruh oleh faktor-faktor dari luar.
Dengan pendekatan kasuistik ini, sifat penalaran
moral menunjukkan dua hal:
Pertama: Di suatau
pihak kasuistik mengandaikan secara implisi bahwa relativisme moral tidak bias
dipertahankan. Jika setiap kasus mempunyai kebenaran etis sendiri, makapendekatan
kasuistik tidak perlu lagi. Kasuistik timbul karena ada keyakinan umum bahwa
prinsip-prinsip etis itu bersifat universal dan tidak relatif saja terhadap
suatu keadaan konkret.
Kedua: Umum diterima juga bahwa prinsip-prinsip etis
tidak bersifat absolut begitu saja, dan tidak peduli dengan situasi konkret.
Sebagaimana arti sebuah kata atau kalimat bias berubah karena konteksnya,
demikian juga sifat-sifat suatu masalah etis bias berubah karena situasi khusus
yang menandai kasusnya. Etika situasi sangat memperhatikan keunikan setiap
situasi. Faktor-faktor spesifik yang menandai suatu situasi tertentu bias
sangat bias sangat mempengaruhi penilaian terhadap suatu kasus. Semua kasus
tidak sama dan ketidaksamaan ini penting diperhitungkan dalam rangka menerapkan
suatu prinsip etika yang berlaku umum.
F. Metode Etika Terapan
Etika terapan bukanlah suatu pendekatan ilmiah
yang pasti seragam. Etika terapan tidak menyediakan metode siap pakai yang
biasa dimanfaatkan begitu saja oleh setiap orang yang berkecimpung di bidang
ini. Variasi metode dan variasi pendekatan pasti cukup besar di dalamnya. Namun
demikian, terdapat empat unsur yang dengan salah satu cara selalu berperanan
dalam etika terapan, betapapun besarnya variasi yang dapat ditemui di dalamnya.
Dan kalau dikaji lebih dalam, maka sebenarnya keempat unsur ini akan selalu
mewarnai pemikiran etis. Artinya, siapa saja yang ingin membentuk suatu
pendirian yang beralasan tentang problem-problem etis – juga di luar kerangka
etika terapan yang resmi – akan mempunyai empat unsur ini. Kempat unsur yang
dimaksud adalah:
1. Sikap Awal
Sikap awal merupakan sikap tertentu seseorang
terhadap statu hal atau masalah yang dihadapinya. Sikap moral berupa sikap awal
ini bisa pro atau kontra atau juga netral, masalah bisa tak acuh, terhadap
sesuatu. Sikap awal ini pada umumnya merupakan sikap yang Belum direfleksikan.
Artinya, orang Belem memikirkan mengana dia bersikap demikian terhadap masalah
itu. Sikap awal ini terbentuk oleh macam-macam faktor yang ikut memainkan peranan
dalam hidup seorang manusia, seperti: pendidikan, agama, kebudayaan, watak
seseorang, pengalaman pribadi, media massa, kebiasaan, dan lain-lain. Umumnya
sikap awal ini orang pertahankan tanpa memikirkannya lebih dalam lagi sampai
saat dia berhadapan dengan suatu peristiwa atau keadaan yang menggugah
refleksinya. Refleksi yang dilakukan selanjutnya dapat saja mengubah sikap awal
tadi atau malah semakin meneguhkannya.
Sikap awal kita menjadi sesuatu yang problematis
ketika kita bertemu dengan orang yang memiliki sikap lain tentang masalah yang
sama. Kita bisa berbeda pandangan tentang sesuatu hal, umpamanya, tentang
hukuman mati eutanasia; atau tentang masalah lebih sederhana, umpamanya tentang
tindakan pemberantasan korupsi, tentang penentuan jodoh oleh orang tua, dan
sebagainya. Berhadapan dengan sikap awal yang berbeda ini, pemikiran moral kita
mulai tergugah, dan pada saat itulah refleksi etis kita mulai berlangsung. Kita
mulai merefleksikan sikap awal, kita bertanya lebih dalam mengana kita bersikap
demikian terhadap masalah itu; apa alasan yang bisa kita pertanggungjawabkan
yang melandasi sikap kita itu; apakah
alasan-alasan itu bisa tahan uji dihadapan berbagai alasan-alasan yang
dikemukakan, yang melatarbelakangi sikap orang lain yang berbeda dengan sikap
kita; dan sebagainya.
2. Informasi.
Setelah pemikiran etis tergugah, unsur kedua yang
dibutuhkan adalah informasi, yang tentu mempunyai kaitan dengan masalah yang
sedang dihadapi. Kita butuh informasi penting dan obyektif mengenai sesuatu
hal, dengannya kita bisa mengetahui dengan lebih baik tentang sesuatu yang
sedang kita hadapi. Tanpa informasi yang memadai, maka sikap moral kita
terhadap sesuatu sulit dipertanggungjawabkan. Kita butuh informasi yang berasal
dari sumber yang dapat dipercaya, yang memiliki keahlian dan punya wawasan yang
luas. Kalau informasi penting tidak kita dapatkan, maka sikap moral hanya
didasarkan atas asumsi-asumsi pribadi, diatas pemikiran subyektif dan bahkan
sangat emosional saja. Pentingnya mendapatkan informasi yang memadai merupakan
salah satu alasan mendasar mengenai etika terapan harus dijalankan dalam
konteks verja sama multidisipliner, berbagai infornasi penting yang Sangat kita
butuhkan sebagai landasan obyektif pembentukan sikap yang dapat kita
pertanggungjawabkan, dapat kita peroleh.
3. Logika berpikir
Proses pembahasan suatu masalah yang sedang
dihadapi harus mematuhi tuntutan berpikir logis-rasional. Ini diperlukan bagi
setiap usa pembahasan untuk menghasilkan kesimpulan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara moral. Penerapan prinsip logis-rasional dapat
memperlihatkan hubungan antara kesimpulan dengan premis-premis yang mendahuluinya, dan apakah kesimpulan
yang diambil dapat tahan uji jika
diperiksa secara iritis menurut aturan-aturan logika. Logika juga dapat
menunjukan kesalahan-kesalahan penalaran deserta inkonsistensi yang barangkali
terjadi dalam argumentasi. Penggunaan pemikiran logis-rasional juga sangat
diperlukan dalam melakukan perumusan
yang tepat mengenai batasan yang jelas atas topik yang sedang
dibicarakan. Diskusi tentang topik-topik etis seringkali menjadi kacau karena
tidak dirumuskan dengan jelas apa yang dimaksudkan dengan topik tersebut,
sehingga para peserta diskusi mungkin memaksudkan beberapa hal yang berbeda.
Keempat unsur yang telah dibicarakan, yakni :
sikap awal, informasi, norma-norma etis dan pemikiran logis, merupakan
unsur-unsur paling penting yang membentuk etika terapan. Diskusi yang
berlangsung dalam etika terapan dimungkinkan sebagai buah hasil kerjasama dan
interaksi antara empat unsur itu. Dengan cara demikian, etika terapan dapat
membantu untuk mengangkat pertimbangan
dan keputusan moral kita dari suatu taraf subyektif serta emosional ke suatu
taraf obyektif dan rasional. Suatu pandangan disebut obyektif apabila dalam penalarannya
lepas dari factor-faktir yang hanya penting untuk beberapa orang; tidak memihak
atau memenangkan kepentingan pihak tertentu saja; tidak berprasangka atau
bertolak dari anggapan-anggapan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara
rasional.